Hak cipta karya foto ada pada fotografer dan dilindungi oleh undang-undang.
Sanityasa (102733)
Sedang panen bawang saat itu...mereka bermain...sementara Bapak ibunya ...memetik bawangrnHAHAHA....PADA SALAH MAKAN OBAT ;))
17 tahun yang lalu
hahaha....om iGoR sangaaaar :D
duuuh ... ini lagi musim ya? ngasih komen kat n pes? aku sih suka mata anak-anak itu ...
:D great photo pakdhe..
onion kids?...saya gak makan obat pakde...cukup bawang aja obatnay...Selamet ah....matanya ramah sekali pada orang asing...
aku suka foto ini Pak Dhe..... realita...
.............................................. pakdhe banget
oooo....iki toh seng jenenge anak bawang
bawang opo ki??? BW na cakep pakde......
pakde komen saya simpel aja kok dikit aja kok gak banyak-banyak... pakde memang hebat tahu kah anad ada suatu cerita dikala seorang muda yang sedang berjalan menyusuri kota dan dia tara jalan yang ada dia menemui suatu kebingungan dan ketika ada setitik cahaya yang berbinar dan berpenjar.... maka dia mendatangi cahay itu tanpa sengaja di menemukan bongkahan emas yang sangat banyak dn tanpa disadari iya pun lupa dengan perjalananya selanjutnya... untuk smentara kisah itu akan saya lanjudkan beberapa hari kemudian.. jadi begitu pakde cerita saya...... pendeka jakan pakde.. gak banyak kan pakde....
wah pakde mang keren dah,aku aja gak kepikiran ngambil2 moment kaya gtu..
mantep pakde...,foto yg apik poko`e.tp tolong dong terjemahin kritiknya IPEY,jadi binun...?!?!?!?
nice kontras pa'de...
Markt bezeichnet in der Wirtschaftswissenschaft das Zusammentreffen von Angebot und Nachfrage nach einem Ökonomischen Gut (einer Ware oder Dienstleistung). Der Mindestmarkt besteht aus einem Nachfrager, einem Anbieter und einem Handelsgut. Eine auf Märkten basierende Ökonomie bezeichnet man als Marktwirtschaft. Das Grundprinzip des Marktes ist der Tausch. Durch Verwendung eines allgemein anerkannten Tauschmittels (z. B. Geld) kann der Tausch der Güter gegen Geld (der Leistungsaustausch) zeitlich voneinander getrennt werden. Derjenige Preis eines Gutes, der zur Übereinstimmung von angebotener und nachgefragter Menge führt, dem sogenannten Marktgleichgewicht, wird als Marktpreis bezeichnet. Im Modell erreicht eine kompetitive Ökonomie, d.h. eine Wirtschaft, in der alle Güter auf Märkten frei getauscht werden, eine pareto-effiziente Allokation der Ressourcen. (Erster Hauptsatz der Wohlfahrtsökonomie). Eine Marktsituation, in der die Allokation der Ressourcen nicht pareto-effizient ist, wird in der Wirtschaftswissenschaft als Marktversagen bezeichnet.
anak bawang yang semoga tidak juga "pupuk bawang"....
cap cip cup...
pedih dimata..... pedih dihati.....
Adakah diantara kita yang sempat mengamati secara serius dampak dari hadirnya pasar modern besar terhadap pasar tradisional? . Saya sangat sedih mendengar seorang kawan mengatakan bahwa ini adalah konsekuensi dari persaingan ekonomi, dan lebih sedih lagi karena dianggap sebagai sesuatu yang biasa, pantas dan selayaknya terjadi. Seorang pedagang di Ujung Murung bercerita bahwa sekarang ini jumlah pembeli sangat berkurang, harga bersaing ketat, pedagang hanya bisa mengambil untung tipis asal barang bisa terjual. Pedagang lainnya di pasar Cempaka mengeluh karena hampir seharian hanya satu dua orang yang mengunjungi kiosnya. Suasana sepi pembeli ini juga terjadi di pasar Sudimampir, pasar Lima, pasar Lama, pasar Teluk Dalam, pasar Telawang dan pasar-pasar tradisional lainnya. Sebuah liputan media elektronik bahkan memberitakan bahwa pasar modern yang biasa juga disebut dengan pasar waralaba telah mematikan pasar tradisional, dan itu telah terjadi dibanyak kota yang pemerintahnya memberi kemudahan bagi menjamurnya pasar modern.
realita kerasnya kehidupan & sepenggal cerita indah disaat kecil ...
Menyadari semua peristiwa tersebut kita akan bertanya apa dan bagaimana sebaiknya kita memahami gambar serta kesan dan citra di dalamnya yang dihadirkan oleh fotografi maupun media pandang dengar. Karena itu sungguh menarik ketika dalam film fiksi Under Fire (Roger Spottiswoode, 1983), etika juru foto jurnalistik dipertanyakan. Apakah seorang juru foto akan membiarkan karya-karya hadir di media cetak tanpa kuasa menghadirkan maksud, ataukah ia sendiri sebagai makhluk sosial berhak memiliki dan menghadirkan pandangan dan pendirian tentang apa yang ia saksikan. Seorang juru foto, diperankan oleh Nick Nolte, membuat foto diri seorang tokoh gerilyawan yang sudah tewas seolah masih hidup (padahal foto itu dibuat tanpa menyatakan bahwa si tokoh masih hidup; ia membiarkan pemirsa menerka hasil kerjanya). Foto itu ternyata membangun semangat perlawanan rakyat terhadap penguasa, sesuai dengan nurani si juru foto (bahwa semangat sang tokoh tetap hidup). Cerita sederhana seperti ini membuat kita semakin sadar bahwa anggapan tentang fotografi sebagai wakil kebenaran obyektif sesungguhnya telah pupus semenjak awal, karena saat seseorang mengangkat kamera sampai kemudian menjepretkannya ia telah membuat pilihan, dari pemilihan jenis film, kamera, lensa, sampai ketika ia menentukan bidang bidikannya. Juru foto (dan kamera) sesungguhnya menghadirkan kenyataan pilihannya. Bila karya itu ia hadirkan kembali di media di mana ia tak punya kuasa penuh maka tidaklah terelakkan bahwa opininya mendapat arahan baru dari pembentuk atau penguasa opini selanjutnya: para redaktur. Mereka inilah yang membentuk penyajian gambar dalam bidang yang baru, media cetak, dengan suntingan maupun tambahan yang sering menjauh dari maksud juru foto. Itulah satu hal yang tidak terelakkan ketika sebuah foto hendak dihadirkan kembali dalam media massa, cetak maupun audio visual. Lebih jauh lagi, kini kita pun tersadar bahwa suntingan yang seolah hanya memiliki alasan praktis efisiensi bidang cetak, misalnya, sebenarnya justru bisa berasal dari usaha pembentukan opini yang sesuai dengan filsafat media tersebut. Fotografi, dalam hal ini kamera, mengabadikan yang telah berlalu ("pernah ada"-nya Roland Barthes) dan menjadi sebuah bukti—ini tentu saja tidak terelakkan—tetapi bahwa kehadirannya kembali di media massa cetak merupakan hasil dari proses penyuntingan juga tidak terbantah. Begitu pentingnya penyuntingan pada penyajian kembali "kenyataan" itu kepada masyarakat luas sampai-sampai raja media Berlusconi, segera setelah menjadi perdana menteri, berupaya mereformasi televisi negerinya. Alih-alih mandiri tanpa subsidi, swastanisasi mengubah kinerja yang berbasis demokrasi politik menjadi demokrasi finansial. Ia menyadari apa yang oleh Gramsci—teoritisi lawan politiknya—disebut pembentukan hegemoni, yang bisa didapatkan antara lain lewat penyajian imaji, sebuah upaya yang dapat terlaksana berkat kekuasaan. Sudah saatnya kita sadar bahwa fotografi dan sajian media pandang dengar pun telah memasuki tahapan yang sama dengan dunia cetak-tulis yang pada masanya pernah dianggap sebagai suatu kebenaran. Kini kita sudah tidak lagi mengagungkan berita cetak. Kita mampu menyaring berita yang tertulis, namun kehadiran foto di sisinya seolah memutlakkan kebenaran berita itu. Satu hal yang patut kita waspadai adalah bahwa gabungan keduanya bukan-lah kebenaran yang obyektif, tetapi mungkin satu data yang berguna bagi kita. Hanya dengan bersikap realistis dan kritis kita mampu memahami dan menikmati keunggulan budaya visual dan lensa tanpa harus terperosok dan tertipu oleh sisi lainnya yang juga merupakan bagian tak terpisahkan dari budaya itu sendiri. Karena, seperti dicatat Laszlo Moholy-Nagy: "Iliterasi di masa depan adalah pengabaian penggunaan kamera seperti penggunaan pena"