Lanjutan dari "Sebuah Kontemplasi dan Proses Evolusi Berkarya"

Oleh:  Suryo Wibowo (25088)    20 tahun yang lalu

  0 

hallo semua rekan FN,
daripada pusing masalah nilai, mari kita bersama² diskusi tentang seni, sebagai lanjutan sebuah topik lama yang linksnya dikirim seorang rekan FN.

Topik lama ini ditulis oleh Agustua Fajarmon pada tanggal 30 Maret 2003 dan diberi judul Sebuah Kontemplasi dan Proses Evolusi Berkarya
Tulisan tersebut terus terang menendang saya dan memicu saya untuk lebih dalam lagi memikirkan tentang fotografi dan saya. Hanya saja saya lihat topik lama ini tidak begitu banyak dikomentari/ditanggapi oleh member² FN lainnya, walaupun telah banyak dilihat.
Saya copy pastekan tulisan rekan Agustua Fajarmon ini di sini, supaya bisa langsung dibaca lagi.



Agustua Fajarmon menulis:
Seorang tukang foto keliling, tinggi kurus, berambut kribo dan berkacamata tebal, pernah berujar di telinga saya. “elu pengen bisa bikin foto bagus? elu kudu tau dulu foto bagus itu yang kaya apa!” Ujarnya sambil melihat kepinggang kanannya.

Sebuah alat penyerantara yang tergantung disitu berbunyi…tii..ditt...tii…diitt..(masih ada gak yah tuh barang?). Peristiwa ini terjadi dahulu, disaat roll film pertama saya pun belumlah saya habiskan.

Sejak hari itu, pertanyaan atau pernyataan tersebut terus menggantung di benak saya, hingga hampir setahun lamanya. Saya terus mengembara dari satu galeri ke galeri yang lain, mengumpulkan majalah-majalah bekas, dan memperhatikan poster-poster di jalanan. Pokoknya setiap ada foto entah dimana atau di media apa saja, saya akan berusaha mengamatinya dan bertanya dalam hati,”Foto ini apanya yang bagus, yah…? Kok bisa dipasang disini?”.

Terkadang saya bingung ketika menemukan sebuah karya/foto yang saya anggap sangatlah jelek, tapi dipamerkan di sebuah galeri hebat. Anehnya lagi, sang fotografer, juga seorang kampiun di dunia fotografi. Walau tak jarang juga, saya menemukan foto yang membuat saya berdecak kagum. Kalau dipersentasikan, selama masa pencarian saya terhadap jawaban tersebut (makna foto bagus) kira kira 50 banding 50, antara foto yang saya anggap JELEK dan foto yang saya anggap BAGUS. Tapi pada kenyataannya, semua foto-foto tersebut (yang kadang saya anggap jelek) adalah foto yang “terpakai”.

Lalu mulai dari situ pulalah, saya mengalami semacam evolusi dalam cara menjepretkan rana kamera dan memilih objek. Pada fase pertama, saya menyebutnya sebagai fase EKSTRIM, karena saya begitu mengagumi keindahan dan sekaligus ketidakindahan (menurut saya waktu itu, inilah objek-objek foto yang paling bagus). Ya….langit biru, matahari tenggelam, wanita cantik, taman asri, danau tenang, pemukiman kumuh, kali berlimbah, pengemis, tumpukan sampah, bangunan lapuk dan lain sebagainya

Lalu di kemudian bulan, saya bertemu kembali dengan si tukang foto keliling tadi. Dengan bangga saya menyodorkan “foto-foto bagus”, hasil jerih payah hunting sekian lama padanya, tentu dengan harapan akan mendapat pujian. Tidak terduga, si tukang foto keliling ini hanya melihat sampai halaman ke 3 dari bundel port folio saya yang berhalaman hampir 100 lembar.

Dia lalu menutup dan sembari mengembalikan bundel tersebut dia berkata,”Apa istimewanya foto-foto lu ini…?, sunset dengan warna warni di langit itu kan emang udah indah, anak kecil mandi di kali berbusa itu, kan emang udah menarik, cewe yang pakai bikini itu kan emang juga udah cantik dan sexy… trus lu tampilin lagi semuanya di foto lu, seperti aslinya. Sama aja kaya nerjemahin novel bahasa inggris ke bahasa Indonesia kan?!…lu tinggal beli kamus lengkap, selesai. Kreatif dong!, ciptain hal biasa jadi menarik, dan hal menarik jadi unik, jangan cuman ngerekam aje!”.

Sekali lagi, tepat saat dia mengakhiri celotehannya, penyerantara di pinggangnya kembali berbunyi….ttiiit…diittt…..tiii…dddiittt. lalu dia pamit, meninggalkan saya yang masih tercenung dengan sebuah kontemplasi baru lagi menyemak di dasar benak

Berbekal kontemplasi baru tadi, saya sampai pada fase kedua, saya menyebutnya fase BERPIKIR. Pada fase ini saya tidak lagi tertarik dengan objek-objek seperti pada fase ekstrim. Saya lebih konsentrasi untuk bereksplorasi dengan teknis dasar fotografi (fungsi diafragma, shutter speed, efek lensa, filter dll) yang sudah mulai saya mengerti dan kuasai. Sedangkan objek yg saya pilih jadi lebih kepada benda-benda mati, dengan konsentrasi grafis.

Seorang tukang foto keliling lainnya, yang berjanggut uban dan pernah didiskualifikasi dari sebuah lomba foto bergengsi di negri ini, karena diperdebatkan melakukan plagiat, menyebut konsentrasi saya tersebut dengan ELEMEN DISAIN. Pada fase ini pulalah saya mendapat satu kesempatan untuk memamerkan beberapa karya/foto dalam sebuah pameran bersama.

Belum selesai gemuruh kebanggaan di dada saya, karena akhirnya beberapa karya/foto saya terpublikasikan, kembali saya bertemu dengan si tukang foto keliling yang kribo tadi. Didalam ruang pamer tersebut. Dengan sedikit deg deg-an, saya menghampirinya dan memintanya melihat ke salah satu sekat, dimana karya/foto saya digantungkan.

Saya mengambil posisi tepat disampingnya, ketika dia memperhatikan karya/foto saya tersebut. Benak saya penuh dengan pertanyaan, apa kira kira komentar dari si tukang foto itu. Dan seketika saya melambung saat dia berujar,”bagus…!”.

Saya langsung berpikir saat itu bahwa saya telah berhasil, pencarian saya telah berakhir….tapi, hanya sekian detik dari ucapan atau pujiannya itu, kembali dia berujar,”Tapi dimana muatan realitasnya??, kreatifitas tanpa realitas sama seperti susunan abjad dari A-Z. Bermacam macam kemahiran orang untuk menghias dan menciptakan karakter huruf yang indah. Tapi se-kreatif apa pun si pembuat huruf itu, kalau toh, ntar dia cuman menyusun urutan abjad tersebut dari A-Z doang,….tanpa menjadikannya sebuah kalimat yang berarti….gak ada nilainya itu”

Saya terdiam beberapa saat. Entah kenapa,yang terlintas dalam benak saya ketika dia menyebutkan kata “realitas” tadi, adalah JURNALISTIK. Dan saat itu pula saya sadar, bahwa si tukang foto keliling tadi sudah keluar dari ruang pamer

Kembali saya merenungi lagi ucapan si tukang foto keliling tadi, dan akhirnya saya mengambil keputusan yang membawa saya pada fase ke tiga, yaitu fase BERPIKIR CEPAT. Saya mulai menyimpan segala macam filter, mengganti lensa fix saya dengan lensa zoom (wide dan tele), menjual tripod dan menggantinya dengan sebuah Flash

Dan mulailah saya melangkahkan kaki ke aspal terik jurnalistik fotografi. Berbaur dengan gas air mata, desingan batu yg lewat di depan lensa, konsentrasi terganggu hardikan hardikan, ruang berpendingin nan sejuk dan makanan kelas hotel berbintang saat press confrence, dan banyak hal lainnya, membuat saya bangga dan bersyukur bisa masuk ke dunia jurnalistik dengan segala macam previlese-nya.

Setelah saya merasa cukup punya karya/foto andalan pada fase ini, saya coba memberanikan diri mendatangi si tukang foto keliling tadi ke rumahnya. Sebuah karya/foto saya yang berisi momen seorang demonstran sedang di injak injak tentara, sengaja saya cetak besar (10R). Dengan pertimbangan bahwa semakin besar imaji yg saya perlihatkan akan semakin menarik tentunya.

Perasaan saya tak menentu ketika dia memperhatikan foto saya sekian lama, lalu tiba tiba tertawa keras. Dia bertanya,”Apa yang lu banggakan dari foto elu ini?”.

Setengah ragu ragu saya menjawab, bahwa saya bangga dengan karya/foto tersebut karena saya bisa menangkap momen kekerasan itu tepat waktunya. Saya berpikir ada pertimbangan decisive moment disitu yang menjadi nilai plus. Lalu dia berkata lagi,”Elu percaya gak?, kalau supir tetangga gue yang baru saja beli kamera poket seharga 50 ribu kemaren sore, bisa juga dapetin momen kaya gini, kalau dia saat itu ada disana”.

Muka saya merah, darah serasa naik semua ke kepala. Kecewa, kesal, bingung semuanya mengkristal, dan si tukang foto keliling ini sepertinya bisa menangkap gelagat tersebut. Dengan nada sedikit membujuk dia berkata lagi,”Gini, sama seperti saat pertama kali elu datang ke gue, dengan foto foto indah dan tak indah elu dulu itu…ya sama kaya ini,…sekarang ini…apa bedanya? Momen ini -sambil dia menunjuk ke karya/foto saya- emang udah menarik, udah fantastic…elu potret pake apa aje ya hasilnya jadi menarik tetap fantastic,…elu mau potret dengan cara apa aje, mau nungging mau apa kek…tetap jadi menarik, karena sudah menarik, bisa nangkep gak?”.

Saya mengangguk walaupun masih belum tercerna semua omongannya. “ini kejadian gue inget banget.” Lanjutnya, sambil menyebutkan tanggal dan hari kejadian, saat dimana saya memotret momen tersebut. Dia berkata lagi,”Elu tau gak,….besoknya sesudah kejadian ini, semua ha-el (headline-red) foto di seluruh koran nasional, khususnya di Jakarta….persis fotonya kaya punya elu ini…..terus sekarang elu masih bangga juga sama foto ini?” untuk kesekian kalinya saya terdiam di depan tukang foto keliling ini.

Ketika saya menyetop sebuah bis kota, dari depan rumah si tukang foto keliling tadi untuk pulang ke rumah, benak saya kembali di penuhi dengan kilas balik pertanyaan dan pernyataan si tukang foto keliling itu. Menyeruak satu per satu, silih berganti dengan teriakan kondektur ;
  • “Kreatif dong!, ciptain hal biasa jadi menarik, dan hal menarik jadi unik, jangan cuman ngerekam aje!”.
  • “Kreatifitas tanpa realitas sama seperti susunan abjad dari A-Z. Bermacam macam kemahiran orang untuk menghias dan menciptakan karakter huruf yang indah. Tapi se-kreatif apapun si pembuat huruf itu, kalau toh tar dia cuman menyusun urutan abjad tersebut dari A-Z doang,….tanpa menjadikannya sebuah kalimat yang berarti….gak ada nilainya itu”.
  • “Momen ini -sambil dia menunjuk ke karya/foto saya- emang udah menarik, udah fantastic…elu potret pake apa aje ya hasilnya jadi menarik, tetap fantastic,…elu mau potret dengan cara apa aje, mau nungging mau apa kek…tetap jadi menarik, karena sudah menarik, bisa nangkep gak?”.
  • ”Elu tau gak,….besoknya sesudah kejadian itu, semua ha-el (headline-red) foto di seluruh koran nasional, khususnya di Jakarta….persis fotonya kaya punya elu ini…..terus sekarang elu masih bangga juga sama foto ini?”


Dan begitulah, pertemuan saya dengan si tukang foto keliling itu dikantornya, menjadi pertemuan terakhir. Sampai sekarang saya belum pernah bertemu langsung lagi dengannya. Dan mulai dari saat itu pulalah empat poin yg pernah di sodorkannya, saya coba mix satu persatu. Dan saya terapkan dalam setiap kali saya memotret, entah itu dalam membuat foto apa saja. Walaupun saya masih tidak terlalu yakin hingga sekarang, apakah saya sudah tahu apa itu makna dari “foto bagus” seperti yg pernah dijelaskannya kepada saya.

Yang pasti saya memang merasakan adanya evolusi dalam proses berkarya saya, mulai dari roll pertama film saya sampai sekarang. Ketika saya membuka lagi tumpukan film film lama, dan melihat pada bundel port folio saya yang pertama, saya bisa tahu bahwa karya/foto yang dulu saya anggap bagus, ternyata sekarang tidak lagi. Begitu juga ketika saya melihat kembali karya/foto dari fotografer hebat yang dulu saya bilang jelek, sekarang malah membuat decak kagum pada diri saya.

Tapi ada satu hal lain yang mengganggu saya sekarang. Yaitu karya/foto si tukang foto keliling itu saat ini, menjadi karya/foto “jelek” bagi mata saya. Dan hal ini juga yang membuat saya semakin yakin kalau pencarian saya terhadap makna “karya/foto bagus” itu masihlah terlalu jauh

Paling tidak, tahap pemaknaan saya tentang karya/foto bagus dengan tahap pemaknaan dia, masih sangatlah jauh rentang pemisahnya. Sehingga saya mengambil satu kesimpulan, bahwa pencarian dalam pemahaman makna dari “karya/foto bagus”, memang tidak bisa berhenti pada satu titik, harus terus di cari sehingga pada diri kitapun ada proses evolusi yang tidak pernah berhenti pula.

Ini sekedar sodoran bahan untuk bincang bebas, sesuai dengan JUDUL RUANG di forum ini. Karena saya melihat begitu beragamnya aliran dan pengalaman fotografi teman teman dikomunitas ini. Dan tentu juga saya percaya bahwa, pemahaman atas makna “karya/foto bagus” itu juga ber-EVOLUSI pada diri teman teman disini. Tidak ada salahnya dong kita berbagi pemahaman makna sejauh yang sudah kita miliki, untuk teman teman yang mungkin baru pertama kali mengisi roll film ke kameranya.

Jadi bagi teman teman yang sudah pula mengalami proses evolusi seperti yang saya alami ini, entah itu sampai pada tahapan yang mana, silahkan kalau mau berbagi juga, Salam!…..oh ya ada satu hal lagi yg lupa saya sampaikan. Situkang foto keliling itu pernah bilang gini “elu baru bener bener hebat, kalau ada orang hebat yang bilang bahwa elu hebat”, sekali lagi salam!
Bagaimana menurut rekan² semua? Dan bagaimana juga menurut bang Agustua F. mengenai hal ini? Apakah masih ada tambahan baru?

Salam.
Re: Lanjutan dari "Sebuah Kontemplasi dan Proses Evolusi Berkarya"

Oleh:  Sutoto (7853)    20 tahun yang lalu

 0 

dalem banget, belum pernah baca sebelumnya, tapi udah pernah diceritain sama Kusuma tentang hal ini.

Re: Lanjutan dari "Sebuah Kontemplasi dan Proses Evolusi Berkarya"

Oleh:  susilo w. (50869)    20 tahun yang lalu

 0 

Foto bagus berarti lain dong ama foto yang indah..? Jadi bingung.

Re: Lanjutan dari "Sebuah Kontemplasi dan Proses Evolusi Berkarya"

Oleh:  Herumanto Moektijono (15429)    20 tahun yang lalu

 0 

thanks untuk bang Agustua F untuk sharing 'perjalanan'nya dan untuk bang S Wibowo yang 'menyegarkan'nya kembali untuk jadi topik di forum...tulisan yang sangat berharga sekali....

Re: Lanjutan dari "Sebuah Kontemplasi dan Proses Evolusi Berkarya"

Oleh:  Raiyani Muharramah (67293)    20 tahun yang lalu

 0 

ya ampuuunnn ini surat cinta apa surat kabar suryo:-?:D

Re: Lanjutan dari "Sebuah Kontemplasi dan Proses Evolusi Berkarya"

Oleh:  Abdul Aziz (13345)    20 tahun yang lalu

 0 

tersentuh hatiku....:D :D :D

Re: Lanjutan dari "Sebuah Kontemplasi dan Proses Evolusi Berkarya"

Oleh:  D. Setiadi (81319)    20 tahun yang lalu

 0 

Suryo ditendang sama Abbo? :O
Siapa yang berevolusi? 8-}

Re: Lanjutan dari "Sebuah Kontemplasi dan Proses Evolusi Berkarya"

Oleh:  Feri Latief (10508)    20 tahun yang lalu

 0 

Usul: Tulisan itu dijadikan Artikel!

Re: Lanjutan dari "Sebuah Kontemplasi dan Proses Evolusi Berkarya"

Oleh:  Suryo Wibowo (25088)    20 tahun yang lalu

 0 

sebagai tambahan,
saya sendiri merasa apa yang diungkapkan bang Agustua memang sebagian bisa saya setujui...tetapi sebagian lain tidak.
bagi saya, terkadang foto tidaklah harus sebuah realitas..tetapi sebuah wujud dari imajinasi...that's what i think...
saya juga melihat bahwa mungkin apa yang dishare bang Agustua ini bisa bernilai bagi bang Agustua sendiri, melihat bahwa sepertinya tukang poto keliling itu adalah idola bang Agustua. Tidak salah untuk mengidolakan seseorang, tetapi bagi saya apa yang diceritakan ada unsur "subyektifitas"nya juga hehehe :D :D.
peace bang Agustua! :D

Re: Lanjutan dari "Sebuah Kontemplasi dan Proses Evolusi Berkarya"

Oleh:  Donny Verdian (18985)    20 tahun yang lalu

 0 

Ya ya ya... kali ini menarik, Sur! Tulisan ini berguna sekali untuk pemula seperti halnya saya. Salam!

Re: Lanjutan dari "Sebuah Kontemplasi dan Proses Evolusi Berkarya"

Oleh:  Agan Harahap (77838)    20 tahun yang lalu

 0 

dalem........oiyahhh!!!! (sekedar info)buat para Fn-ers yg ada di bdg, kalo mau dengerin hal2 yg kayak gini2an dateng deh ke galeri kita jln riau..tgl 1 okt 03 jam 3-an..okehh????

Re: Lanjutan dari "Sebuah Kontemplasi dan Proses Evolusi Berkarya"

Oleh:  Edgar Manik (625)    20 tahun yang lalu

 0 

Kalau saya melihat esensi tulisan bung Fajarmon itu adalah: "foto yang bagus buat kita, belum tentu bagus buat orang lain". "foto yang menurut kita hebat, dimata orang lain mungkin hanyalah foto biasa".

Lalu bagaimana penerapannya dalam komunitas FN ini? Saya melihatnya, kalau kita meng-upload foto di galeri FN, suatu foto yang kita rasa hebat (karena baru pertama kali bisa buat foto beginian), lalu dicerca oleh orang lain dan dianggap biasa aja, atau malah dianggap tidak layak tampil; kita wajib menerima-nya dengan lapang dada, tanpa rasa sakit hati.

Ingat, foto yang kita anggap bagus/hebat pun, di masa2 yang akan datang mungkin hanyalah menjadi salah satu dari foto kita yang "biasa aja" di masa depan.

Cheers

Re: Lanjutan dari "Sebuah Kontemplasi dan Proses Evolusi Berkarya"

Oleh:  Raiyani Muharramah (67293)    20 tahun yang lalu

 0 

ada beberapa point yang saya kurang setuju

belum tentu semua fotografer bisa merekam ke"fantastic-an" moment yang indah, bisa jadi malahan tak seindah aslinya, nah ,apakah ini yang dikatakan kurang kreatif?

membuat foto menjadi lebih indah dari aslinya bagi saya suatu kreatifitas lho:)

Re: Lanjutan dari "Sebuah Kontemplasi dan Proses Evolusi Berkarya"

Oleh:  Cahya T. Jatmiko (9126)    20 tahun yang lalu

 0 

"..bahwa pencarian dalam pemahaman makna dari “karya/foto bagus”, memang tidak bisa berhenti pada satu titik, harus terus di cari sehingga pada diri kitapun ada proses evolusi yang tidak pernah berhenti pula"

Kesimpulan yang penting. Mungkin ini yg benar2 dimaksutkan oleh 'sang Guru', makanya ia tak pernah memberi pujian yg 'diharapkan' oleh bung Fajarmon. Andaikan ada yang namanya foto bagus yang ultimate, niscaya seni fotografi akan mati dan fotografer berhenti untuk puas nongkrong di sana semua. Bukankah sebuah foto hanya tergeletak menjadi sebuah foto saja tanpa sang Pengamat ? Dus, nama situs ini cocok sekali bukan foto.net atau fotografi.net tapi fotografer.net Kita, lewat pemahaman kita lah nilai sebuah foto bersemayam.

IMHO, lho (kok serius kali aku :D) thx Suryo, aku jadi baca tulisan hebat.

Re: Lanjutan dari "Sebuah Kontemplasi dan Proses Evolusi Berkarya"

Oleh:  Heri C., Winale (5653)    20 tahun yang lalu

 0 

Suryo : Imho, wujud imajinasi itulah tidak lain realitas itu sendiri. CMIIW. Anda benar, tulisan Abbo itu - dengan tokoh idolanya - sangat kental subjetivitasnya. Sebetulnya tidak ada bedanya dengan komunitas FN. Apa yg dirasakan oleh jurut potret keliling itu tidak lain dalam versi lainnya ialah kita-kita di sini. Menurut saya sebuah foto adalah X, dan orang lain bilang foto itu adalah Y. Kita semua di sini 'kan begitu adanya?

Terus, IMHO, pendapat si pemotret keliling itu terlalu "menganeh-anehkan" pengertian akan sebuah foto. Dengan kata lain sosok yg memuja teori-teori tentang foto (bersamaan dengan subjektivitasnya). Foto-foto kelas dunia yang banyak kita saksikan di majalah foto terkenal, kayaknya tidaklah sarat dengan kaidah2 foto yg dikemukakan oleh fotografer keliling itu. Foto-foto di majalah itu itu tidak bermain dalam penyajian yg dikemas oleh teka-teki. Dan saya sependapat, bahwa foto mestinya harus mampu menciptakan interaksi antara "cerita" di dalam foto dengan yg mengamatinya. Ini tidak perlu dilakukan dengan trik-trik aneh dan nyeleneh, sebab kalau foto harus demikian adanya, mana lagi yang namanya pesan yg mau disampaikan? Kendati demikian, saya paham setipa orang memiliki kebebasan berekspresi dalam foto dan tentu memiliki keleluasaan bagaimana dia mau mengemas fotonya.
Re: Lanjutan dari "Sebuah Kontemplasi dan Proses Evolusi Berkarya"

Oleh:  Muhammad Reza, Kodok (15273)    20 tahun yang lalu

 0 

Kok..... setelah saya baca ulang, mengamati , dan mencermati koment2 diatas, sepertinya (IMHO) malah mengecilkan arti proses pembelajaran seseorang (dalam hal ini ABBO). Bukan saya membela ABBO... tetapi, proses pembelajaran manusia itu bukannya berbeda-beda? :) Dan mohon sesudahnya, saya menulis ini bukan bermaksud untuk menyinggung emosi siapapun. :) Regards n Peace, Reza

Re: Lanjutan dari "Sebuah Kontemplasi dan Proses Evolusi Berkarya"

Oleh:  Trisnadi Sutrisno (4225)    20 tahun yang lalu

 0 

Sebuah wacana... :-?

Re: Lanjutan dari "Sebuah Kontemplasi dan Proses Evolusi Berkarya"

Oleh:  Gunawan Wibisono (26231)    20 tahun yang lalu

 0 

Waduh, beberapa waktu lalu saya baca, sampe saya print abis 4 halaman.... dan saya sangat terkesan.... (terima kasih sharingnya Bang) :) :) :) :)

kalo saya masih belajar motret dengan benar secara teknis dulu, soalnya memang nggak punya jiwa seni.... :(

Re: Lanjutan dari "Sebuah Kontemplasi dan Proses Evolusi Berkarya"

Oleh:  Rochim Hadisantosa (104553)    20 tahun yang lalu

 0 

Saya lebih pengen membuat foto yang menurut saya bagus, drpd yg menurut orang lain bagus :)

Re: Lanjutan dari "Sebuah Kontemplasi dan Proses Evolusi Berkarya"

Oleh:  ABBO simanjuntak (2086)    20 tahun yang lalu

 0 

terima kasih karena akhirnya tulisan saya tersebut menjadi sebuah bahan perbincangan. seperti yang memang saya harapan ketika saya menulisnya tempo hari. (thanks to Suryo)

Sekedar tambahan, motivasi saya membuat tulisan tersebut tidaklah untuk membuat sebuah "penyamaan visi dan pemahaman" bagi kita semua disini. saya mengerti benar bahwa, banyak sekali perbedaan di dalam dunia fotografi. baik itu visi, selera, juga motivasi, betul begitu bukan?

Jadi dalam hal ini, saya hanya membagi pemahaman dangkal yang saya miliki, karena hanya itu yang saya miliki sampai saat ini (paling tidak sampai saat saya menulis tulisan tersebut)...kalaupun saya menggunakan cara penulisan yang sepertinya ada tokoh sentral yang saya panuti ditulisan tersebut, itu hanya bentuk dan cara saya mengungkapkan pikiran saya dalam bentuk tulisan. karena si tukang foto keliling itu tak lain tak bukan adalah saya sendiri. jadi sebenarnya tulisan diatas adalah dialog saya dengan diri saya sendiri.:)

Jadi sekali lagi, saya senang akhirnya tulisan tersebut menjadi sebuah diskusi yang menarik. kalaupun ada perbedaan pendapat dan pandangan, itu lumrah namanya juga diskusi ya toh?

Bagi saya pribadi, tetap fotografi adalah sebuah media untuk berkarya bukan sekedar media untuk merekam momen. pengertiannya media karya bagi saya adalah, ada penumpahan ide disitu, konsep pemikiran, melalui proses teknik fotografi, entah itu adalah teknik yang "nyleneh" atau yang umum.

salam (semoga diskusi ini tidak berhenti disini)

Re: Lanjutan dari "Sebuah Kontemplasi dan Proses Evolusi Berkarya"

Oleh:  Feri Latief (10508)    20 tahun yang lalu

 0 

ABBO tukang foto keliling?

Re: Lanjutan dari "Sebuah Kontemplasi dan Proses Evolusi Berkarya"

Oleh:  ABBO simanjuntak (2086)    20 tahun yang lalu

 0 

dulu....2 tahun di TMII...1 tahun di Ragunan....4 tahun di Ancol

Re: Lanjutan dari "Sebuah Kontemplasi dan Proses Evolusi Berkarya"

Oleh:  Irfan A (5369)    20 tahun yang lalu

 0 

Ketika itu saya barusan datang dari pulang kampung, kemudian oleh mas Gunawan W. dipanggil dengan suara keras, yang katanya ada tulisan dari bang Abbo (dulu artikel ini ditulis oleh ABBO SIMANJUNTAK, sekarang ganti nama Agustua F.) yang sangat bagus.
Selama beberapa saat saya tercenung2, saya baca berkali2, scroll bolak2, termasuk yang versi print2an dari mas Gunawan. Setelah selesai, saya sangat penasaran dengan sosok si Tukang Foto Keliling tsb. Siapa gerangan dia? begitu hebatnya dia hingga orang sekaliber bang ABBO dibuat berpusing2 dengan konsep "foto yang bagus" itu.
Setelah kisah ini diangkat kembali oleh mas Suryo, dan dijawab oleh bang ABBO bahwa si Tukang Foto Keliling itu adalah beliau sendiri, wessss... tambah puyeng aku ..@-)

Re: Lanjutan dari "Sebuah Kontemplasi dan Proses Evolusi Berkarya"

Oleh:  Irfan A (5369)    20 tahun yang lalu

 0 

Tambahan :



Dalam kepuyengan itu, tiba2 saya teringat sebuah pemikiran, bahwa sebuah karya seni sebenarnya adalah sebuah gagasan dari seorang seniman. Tulisan dari seorang penulis, lukisan dari pelukis, termasuk juga foto dari seorang fotografer, pada hakekatnya adalah gagasan yang divisualkan dalam bentuk sebuah karya.
“Kreatifitas tanpa realitas sama seperti susunan abjad dari A-Z. Bermacam macam kemahiran orang untuk menghias dan menciptakan karakter huruf yang indah. Tapi se-kreatif apapun si pembuat huruf itu, kalau toh tar dia cuman menyusun urutan abjad tersebut dari A-Z doang,….tanpa menjadikannya sebuah kalimat yang berarti….gak ada nilainya itu”.

bersambung...
Re: Lanjutan dari "Sebuah Kontemplasi dan Proses Evolusi Berkarya"

Oleh:  Irfan A (5369)    20 tahun yang lalu

 0 

sambungan : terakhir kok :D


Seseorang bisa membuat karya foto yang bagus, secara segi artistik maupun teknis, namun karena "kering" akan "jiwa/makna" foto, maksimal hanya satu point yang didapatkan.
Namun apabila selain secara teknis dan artistik foto itu bagus, dengan dilengkapi gagasan yang cerdas dan bermakna, maka dengan angkat topi, kita harus memberikan skor untuk foto2 dia dengan dua point. Inilah yang disebut foto yang benar-benar bagus, menurut hemat saya...

NB: maaf tulisannya nyambung2, soalnya ada batasan besar upload 1 kb dari server.
Re: Lanjutan dari "Sebuah Kontemplasi dan Proses Evolusi Berkarya"

Oleh:  ABBO simanjuntak (2086)    20 tahun yang lalu

 0 

Atas tanggapan Raiyani :
Memang betul membuat foto lebih indah dari suasana/objek aslinya adalah sebuah kreatifitas. itu tidak bisa dibilang 'tidak. tetapi sampai sejauh apa takaran "indah" yang dimaksudkan? itu tentu relatif dan absurd sekali jawabannya. Tidak semua fotografer meng-amini satu pemahaman yang sama dengan fotografer fotografer lainnya tentang sebuah keindahan. Esensi dari poin yang saya jabarkan, yang kurang disetuju oleh Raiyani, sebenarnya adalah bagaimana kita menjadikan "itu" menjadi "ini", "begitu" menjadi "begini", "indah" menjadi "indih", "cantik" menjadi "cantak" dan seterusnya. tentu semuanya dalam kerangka berpikir fotogratif yang kreatif, dan inilah yang membedakan antara "rekaman momen" dan "penciptaan".

Atas tanggapan Herry Normandy:
Saya juga setuju jika yang disebut sebagai FOTO adalah harus punya kewajiban untuk membangun pesan dari fotografernya agar secara gamblang dan jelas bisa dimengerti oleh pengamatnya.(pendapat pribadi saya mengatakan, bahwa dalam hal ini biasanya penciptaannya (foto-red) terikat dalam pengaruh pengaruh komoditi tertentu.

Lalu saya juga punya pemahaman sendiri tentang apa yang dinamakannya KARYA FOTO.(IMHO)...bagi saya sebuah Karya Foto adalah sebuah "foto" yang didalamnya ada pencerminan jiwa si pembuatnya (fotografernya),yang selalu berangkat dari pendalaman ide melalui konsep berpikir yang kreatif. Tanpa ada ikatan atas kepentingan kepentingan lainnya. dalam hal ini, kembali menurut saya, sebuah karya foto harusnya bebas sebebas bebasnya, bebas dari ikatan teknis yang di amini semua orang, bebas dalam penyajiannya, bebas dalam segala hal, bahkan dari ikatan yang terkecil sekalipun. Dan karena penyampaian bentuk ekspresi yang sangat pribadi tersebutlah, mengapa terkadang ada karya yang lebih mirip seperti sebuah teka-teki (khususnya dalam teknis pembuatannya dan maknanya). Dan memang tidak semua "karya foto", selalu dibuat atau terbuat bernuansa teka-teki...ada juga "karya foto " yang hadir begitu sederhana dan sangat mudah dimengerti. itu semuanya kembali kepada sipembuatnya...atau tergantung dengan cerminan jiwa si pembuat saat "karya" tersebut dibuat