Resensi Buku

Napak Tilas Jejak Marco Polo

 

Data Buku

Judul                : Marco Polo: A Photographer’s Journey

Penulis              : Michael Yamashita

Penerbit            : White Star Publishers, Italy

Cetakan           :  I, 2002

Tebal                : 503 Halaman

 

          Marco Polo, nama ini pasti tidak asing di telinga kita, entah itu sebagai nama merk atau nama orang. Nama yang satu ini memiliki daya tarik tersendiri hingga kita bisa menemukannya dimana-mana. Meski banyak orang pernah mendengar nama ini, hanya sedikit yang benar-benar tahu siapa Marco Polo, sejarah dan asal-usulnya. Saya termasuk orang yang tidak paham akan sosok Marco Polo ini. Saya hanya mengenal Marco Polo sebagai seorang penjelajah dan pedagang berkebangsaan Eropa yang memiliki kisah petualangan yang mengesankan.

Kisah petualangan Marco Polo begitu terkenal karena gambaran Marco Polo akan tempat-tempat yang ia singgahi begitu memikat. Maka ketika saya melihat buku Marco Polo: A Photographer’s Journey, saya sangat tertarik untuk membacanya. Ketebalan buku yang di atas rata-rata agak menyurutkan minat saya, namun rasa ingin tahu yang besar membuat saya bersemangat. Sesuai dengan judulnya buku setebal 503 halaman ini disusun oleh seorang fotografer. Ia adalah salah satu dari sekian banyak orang yang terinspirasi oleh Marco Polo. Ia adalah Michael Yamashita, fotografer freelance majalah National Geographic dengan reputasi internasional.  Michael Yamashita tergugah untuk merasakan petualangan seperti yang dialami oleh Marco Polo. Bersama dengan timnya, Michael Yamashita mengadakan sebuah ekspedisi.

Ekspedisi ini bertujuan untuk napak tilas  jejak perjalanan Marco Polo. Kisah napak tilas ini dituangkan Michael Yamashita dalam bukunya ini. Michael Yamashita memilih foto untuk menuangkan kisahnya itu. Diperlukan waktu empat tahun untuk menyelesaikan proyek buku ini. Tak heran hasilnya pun sangat menakjubkan. Ratusan foto tersajikan dengan kisahnya masing-masing. Buku ini juga dilengkapi dengan catatan sejarah mengenai perjalanan Marco Polo yang ditulis oleh Gianni Guadalupi seorang penulis, penerjemah, dan editor antologi.

          Michael Yamashita memulai perjalanannya dari Venesia, yang merupakan tempat kelahiran Marco Polo. Marco Polo memulai perjalanannya ketika ia berusia 17 tahun. Ketika itu ia melakukan perjalanan bersama dengan ayahnya, Niccolo dan pamannya, Maffeo. Mereka merupakan orang barat pertama yang melakukan perjalanan ke Jalur Sutera ke Cina dan mengunjungi Kublai Khan. Marco Polo kemudian mencatat perjalanannya dalam sebuah buku Il Milione. Buku inilah yang mencuatkan namanya. Buku ini juga mungkin yang menginspirasi Michael Yamashita. Dari Venesia, Michael melanjutkan perjalanannya ke Irak, Iran, Afghanistan, menyusuri Jalur Sutera ke China, dan kembali ke Venesia melalui Indonesia, Sri Lanka, dan India. Semua tempat yang ia kunjungi berikut masyarakat dan budayanya diabadikan oleh Michael Yamashita dan timnya.

          Buku ini dibuka dengan kata pengantar dari Michael Yamashita yang menceritakan kisah dibalik pembuatan proyek buku ini. Bab berikutnya memaparkan sejarah kisah Marco Polo yang ditulis oleh Gianni Guadalupi. Selanjutnya Bab I berisi sejarah, kisah petualangan dari Venesia, Irak, Iran, dan Afghanistan. Selain berisi foto-foto yang menggambarkan keindahan alam dan kehidupan yang beragam, bab ini juga dilengkapi tulisan dari Michael Yamashita.

Pada Bab II, petualangan Michael berlanjut ke China. Mulai dari Pamir, Kashgar, Xanadu, Beijing, Jiangsu, Sichuan, Yunnan, Laos, Myanmar, Labrang, hingga Dataran Tinggi Tibet. Bab III mengupas perjalanan pulang yang dilalui Marco Polo. Michael menyusuri jejak pulang Marco Polo melalui Indonesia, Sri Lanka, dan India. Michael Yamashita dan timnya juga mengunjungi Quanzhou, dan Vietnam. Bab ini merupakan bab yang paling menarik menurut saya karena Indonesia ditampilkan dalam bab ini. Dulu Marco Polo juga pernah mengunjungi Indonesia dan kini Michael Yamashita pun singgah ke Indonesia. Pulau yang disinggahi adalah Sumatera. Dikisahkan dulu Marco Polo mengganggap orang Batak kanibal karena mereka memakan tubuh manusia. Namun melalui pengamatan Michael Yamashita terungkap bahwa anggapan tersebut salah. Dari tulisan Michael bisa disimpulkan bahwa anggapan tersebut muncul karena orang Batak memakan ikan yang secara samar mirip tangan orang. I photographed a platter of fish whose contents looked vaguely like a human hand (hal 439). Pada bab ini juga ditampilkan foto pasangan pengantin dari Batak (hal 437). Dari Indonesia, Michael bertolak ke Sri Lanka kemudian India lalu kembali ke Venesia. Selain berisi foto-foto, buku ini juga dilengkapi peta yang menggambarkan rute perjalanan yang dilalui oleh Marco Polo maupun oleh Michael Yamashita dan timnya. Peta ini membantu pembaca untuk menelusuri jejak petualangan Michael.

Secara keseluruhan buku ini memotret fakta-fakta kehidupan dari berbagai belahan dunia. Jalur sutera yang dilalui oleh Marco Polo terekam dengan apik. Foto-foto yang disuguhkan selain berkualitas juga sangat tepat pengambilan momennya. Perjalanan Michael Yamashita menyusuri Jalur Sutera membuka peluangnya untuk mengabadikan kehidupan masyarakat dalam kesehariannya. Kepiawiannya dalam bercerita melalui foto merupakan poin yang menjual dari buku ini. Meski berisi ratusan foto, pembaca dijamin tidak akan merasa bosan. Foto demi foto terangkai dengan indah menjadi jalinan cerita yang mengasyikan untuk dibaca. Dari pemandangan alam, peristiwa-peristiwa budaya dan kehidupan sehari-hari masyarakat tersajikan dengan ceritanya masing-masing. Dengan melihat kita semakin bisa merasakan kebudayaan lain yang ada di seluruh dunia. Melalui foto pula Michael Yamashita mengajak kita untuk menyadari indahnya keanekaragaman. Kita tidak hanya menemukan perbedaan tapi juga persamaan antar berbagai bangsa yang dikunjungi Michael. Kita juga diajak merasakan petualangan yang dulu dialami Marco Polo.

Membaca buku ini serasa berkeliling benua Asia, kita seakan ikut berpetualang bersama Michael Yamashita. Menyaksikan keindahan alam, keunikan masyarakat, dan hal-hal yang tak pernah kita lihat sebelumnya. Namun sayang beberapa tempat yang dikunjungi mayoritas di benua Asia sehingga kita tidak bisa melihat kehidupan di benua lain.

Beberapa foto yang menarik diantaranya foto berjudul Ethnic Crossroads (hal 245) yang menggambarkan orang-orang dari etnis yang berbeda sedang melakukan transaksi bisnis. Foto berjudul Asbestos (hal 281) yang menggambarkan seorang pekerja yang harus menghirup debu asbestos yang berbahaya. Lalu foto yang memotret kehidupan sehari-hari di Suzhou (hal 297), dari foto ini tampak pasar tradisional di Suzhou tidak jauh berbeda dari pasar tradisional di Indonesia.  Foto yang menggambarkan perempuan tua dengan kaki yang kecil di Yunnan (hal 326-327) juga menarik untuk disimak. Di masa lalu perempuan Yunnan punya kebiasaan mengikat kaki agar tumbuh dengan ukuran kecil. Kebiasaan tersebut sebenarnya sudah dilarang namun masih dipraktekkan oleh generasi tua Yunnan. Lalu foto sekelompok biksu yang sedang berdoa di tengah badai salju (hal 359) dan foto biksu kehausan yang makan salju (hal 381), kedua foto ini menampilkan sisi manusiawi dari seorang biksu.  Foto di halaman selanjutnya berjudul The Ciak menampilkan seorang peziarah yang tengah melakukan ritual keagamaan.

Foto berjudul A Thirst For Holiness (hal 391) memperlihatkan umat Buddha menunggu dibagikannya air dari sumur Buddha. Selanjutnya foto berjudul Holy Men (hal 455) menampilkan seorang petapa yang panjang rambutnya mencapai 12 kaki. Foto berjudul Chennai  (hal 477) memperlihatkan seorang perempuan India sedang menyebarkan kotoran sapi disekeliling rumah untuk mengusir serangga di daerah Chennai. Foto di halaman berikutnya (478-479) menampilkan seorang perempuan India sedang menyembah sapi. Di India, sapi memang dianggap suci dan disembah layaknya dewa. Foto berikutnya semakin mempertegas kesucian sapi di India, foto ini memperlihatkan seorang pendeta sedang memercikkan susu bercampur kari ke atas patung Nandi (sapi jantan suci) di Tanjore. Yang tak kalah menarik adalah foto berjudul Mumbai (hal 486-487) yang memperlihatkan seorang pertapa Hindu yang selama 50 tahun tidak mengenakan pakaian sebagai bentuk perceraian dirinya dari dunia yang berorientasi materi. Foto-foto tersebut menampilkan berbagai keunikan kisah manusia dari berbagai negara. Potret keseharian dan keunikan masyarakat dari negara yang berbeda selain menambah pengetahuan juga memperluas cara berpikir kita. Kita diasah untuk mampu menerima perbedaan masing-masing.

Buku ini sangat cocok untuk mereka yang memiliki hobi jalan-jalan karena bisa menjadi referensi tempat-tempat yang bisa dikunjungi. Untuk pembaca yang juga hobi jalan-jalan namun dana terbatas, buku ini cukup mengobati kekecewaan anda. Setidaknya anda bisa merasakan pengalamannya meski tidak secara langsung. Membaca buku ini memberikan kenikmatan tersendiri yang membuat anda ketagihan untuk membacanya berulang kali. Ibarat sebuah kue, rasa manisnya membuat anda ingin mencicipinya terus-menerus.