(Menempatkan Kembali Fotografi sebagai Media Ekspresi)

Perkembangan teknologi dalam dunia fotografi dari waktu ke waktu semakin mengejutkan dan membuat decak kagum. Kehadiran kamera digital di pasaran bagaikan jamur yang tumbuh dimusim penghujan. Cepat merata tersebar dan tepat sasaran. Produk-produk kamera digital secara terus-menerus memperbaiki, meningkatkan kinerja kemudian melengkapinya dengan fitur-fitur yang lebih canggih dari produk sebelumnya. Tidak lain tujuannya adalah untuk bersaing merebut hati dan memanjakan para penggunanya. Dengan tingginya sifat konsumerisme yang dimiliki oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, maka permintaan akan kamera digital sejak pertama kali meramaikan pasar Indonesia mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Seperti halnya ketika telepon seluler (mobile phone) hadir pertama kali di tanah air. Banyak orang berbondong-bondong ke counter untuk berburu beragam jenis telepon seluler. Pada awalnya orang berminat memiliki telepon seluler karena kebutuhan akan komunikasi yang lebih efektif dan efisien. Namun pada perkembangannya, kebutuhan itu bergeser menjadi gaya hidup (life style).

 

Nampaknya kondisi tersebut juga terjadi pada keberadaan kamera digital, yang pada awal kehadirannya hanya orang-orang dengan profesi tertentu saja yang memanfaatkan kelebihan-kelebihan fasilitasnya. Tengok saja seorang jurnalis foto misalnya. Kehadiran kamera digital tentu akan sangat menguntungkan sang jurnalis untuk mendapatkan berita foto dan mengejar dead line (kebiasaan). Dengan berbekal kamera digital dan perangkat PC atau notebook yang terkoneksi dengan internet, maka foto akan bisa langsung dikirim ke meja redaksi dalam hitungan menit saja. Antar pulau sekalipun.

 

Kemudian dalam perjalanan sang waktu, tidak hanya kaum jurnalis foto saja yang berhak menikmati kamera digital. Mulai dari seniman foto sampai yang hanya hobi fotografi pun beramai-ramai untuk ‘mencicipi’ kenikmatan sebuah kamera digital. Beragam merek dan jenis, dari yang hanya  2 megapixel sampai 12 megapixel, dari yang compact (built in) sampai D-SLR (Digital-Single Lens Reflector) yang lensanya bisa diganti sesuai dengan kebutuhan, kini sudah tersedia banyak di pasaran dengan harga yang bervariasi namun tetap terjangkau. Tentu saja kosumen bebas untuk menentukan pilihan walaupun dengan pertimbangan kebutuhan. Kalau hanya untuk kepentingan dokumentasi keluarga dan tidak ada keperluan dicetak dalam ukuran besar, kamera dengan kemampuan 2 atau 3 megapixel  itu sudah cukup. Tapi jika untuk kebutuhan promosi (out door) yang menghendaki ukuran cetak super besar (baliho), maka diperlukan kamera dengan megapixel yang tinggi.

 

Dengan tersedianya kamera digital yang jumlah dan variannya sangat komplit tersebut, secara tidak lagsung akan mengkondisikan dan membawa pengaruh positif bagi perkembangan dunia fotografi. Kemudahan dalam mengoprasikan sebuah kamera digital dengan segala kecanggihan fasilitasnya, merupakan faktor utama munculnya pemain-pemain baru di dunia fotografi. Bahkan jumlahnya jauh lebih banyak ketimbang para senior yang sudah puluhan tahun malang melintang di dunia fotografi. Coba saja kunjungi situs lokal ( Indonesia) tentang komunitas dan penggemar fotografi. Kita ambil salah satu contoh situs www.fotografer.net. Pada halaman muka situs ini terdapat data yang menunjukan rata-rata 6 anggota baru yang sign in tiap harinya. Kemudian untuk member yang log in tiap harinya menembus angka ratusan. Dan yang tidak kalah menariknya adalah ketika kita pilih menu galeri dan click foto terbaru akan muncul ribuan karya foto yang siap kita nikmati. Sekali lagi, tiap harinya. Lebih mencengangkan lagi, kalau kita click salah satu karya foto tersebut, maka akan muncul informasi, termasuk kamera yang dipakai. Sebagian besar karya-karya foto itu dihasilkan dari kamera digital kelas mid-end. Ingat, itu baru satu situs dan belum media yang lain. Cukup membanggakan memang.

 

Namun secara tidak sadar keadaan tersebut justru menimbulkan ambiguitas esensi paradigma fotografi itu sendiri. Beberapa tahun yang lalu untuk dapat menghasilkan karya foto yang bagus, minimal ketepatan teknis saja, melalui proses yang lumayan rumit dan penuh ‘spekulasi’. Pada waktu itu jika seseorang ingin bisa fotografi harus belajar dan berjuang keras. Ada beberapa unsur penting yang pertama-tama harus dipelajari. Diantaranya, pengetahuan fungsi diagframa dan kecepatan. Kedua unsur ini adalah unsur utama yang harus benar-benar dipelajari, kalau bisa dieksplorasi secara lebih mendalam. Ketepatan menggabungkan keduanya adalah kunci utama untuk bisa menghasilkan karya foto yang bagus. Kemampuan inilah yang tidak dapat dicapai hanya dalam sekali pemotretan. Roll demi roll film akan terus dihabiskan -yang kemudian dicetak- untuk bisa melihat hasil ekspose yang telah dilakukan. Itu pun hasil cetakan tidak dapat langsung dilihat. Untuk mengurangi kegagalan teknis eksposure dianjurkan untuk mencatat secara manual data teknis  (supaya tidak lupa) setelah atau sebelum pengambilan obyek. Cara ini ditempuh supaya tidak terjadi kesalahan yang sama. Kemudian yang tidak kalah penting lagi adalah ketepatan pemilihan ASA film. ASA film akan sangat berpengaruh pada hasil cetakan nantinya (kepadatan grain), tentunya disesuaikan dengan kebutuhan. Jika kemampuan dan pengetahuan cara menggabungkan teknik diagframa, kecepatan dan ASA film telah tercapai, maka semua teknik dalam fotografi bukan menjadi masalah lagi. Dari show action hingga depht of field sempit akan terasa sangat mengasyikkan untuk diekspose.

 

Sehingga pada waktu itu kemampuan (skill) seseorang yang menggeluti dunia fotografi akan sangat diperhitungkan. Profesi fotografer yang disandang ataupun yang hanya gemar fotografi sekalipun mendapatkan tempat tersendiri di mata masyarakat luas. Namun juga tidak berarti bahwa ‘pamor’ fotografer produk jaman sekarang mengalami penurunan. Hanya saja saat ini ketika melihat sebuah karya fotografi, terutama dari segi teknis, sudah tidak begitu spesial lagi.  Mengapa bisa demikian? Karena bisa dikatakan bahwa pada saat ini, dengan mengatasnamakan kemajuan teknologi, kemampuan seseorang dalam menghasilkan karya foto yang ‘asal’ jadi saja, bisa dicapai dalam hitungan menit. Ketika ditangan sudah membawa, sebut saja NIKON D300 misalnya, obyek dengan kondisi apapun akan bisa terekam dengan tepat. Hasil ‘jepretan’nya bisa langsung dinikmati saat itu juga lewat LCD di body belakang. Kalau tidak puas dengan hasilnya atau terjadi kesalahan teknis tinggal dihapus saja atau dilakukan pemotretan ulang. Kenapa harus susah-susah! Jika masih belum puas, sekarang sudah banyak tersedia software untuk mengutak-atik hasil foto yang tidak memuaskan tadi. Tinggal klik sini, klik sana, adjustments color balance, selective color, sedikit burn, tambah beberapa filter dan OILA!! Jadilah sebuah foto pemandangan dengan warna langit dan bentuk awannya yang sangat memukau dan dramatis, jauh lebih dasyat dari aslinya. Para pendatang baru di dunia fotografi seakan dininabobokkan, di belai-belai mesra oleh fasilitas-fasilitas yang serba bisa. Sehingga esensi tentang fotografi itu sendiri menjadi terabaikan atau jangan-jangan sudah lama diabaikan.

 

Jika kita mau menengok sebentar tentang asal-usul fotografi, kondisi tersebut sangatlah kontras atau malah berbanding terbalik dengan pengertian fotografi itu sendiri. Secara leksikal (istilah dalam kamus) fotografi berasal dari kata photography (photo = cahaya, graphs / grafos = gambar). Sehingga bisa diterjemahkan secara gramatikal menjadi menggambar dengan cahaya. Perlu diketahui bahwa semua obyek di muka bumi ini tidak memilki sumber cahaya sendiri, obyek-obyek ini hanya menyerap yang kemudian memantulkannya sehingga dapat terlihat dengan mata telanjang. Prinsip inilah yang juga diterapkan pada cara kerja kamera, menghasilkan gambar dua dimensi secara permanen melalui peran cahaya.

 

Dengan berpedoman pengertian di atas bisa dianalogikan bahwa kamera (digital maupun analog) merupakan media utama untuk menghasilkan karya foto. Pabrikan kamera papan atas seperti Nikon, Canon ataupun Kodak yang memproduksi kamera D-SLR (Digital – Single Lens Reflector) telah memfasilitasi produk-produknya dengan fitur-fitur komplit berteknologi canggih. Sehingga pastilah akan bisa menghasilkan karya foto yang sempurna, tanpa harus melakukan editing dengan software pengolah gambar. Muncul pertanyaan, buat apa mengeluarkan biaya tinggi untuk membeli kamera dan semua asesorisnya jika pada akhirnya masih melakukan proses brightness, contras ataupun color balance, bahkan melakukan eksekusi, menggunakan software pengolah gambar? Banyak alasan dan pertimbangan untuk dijadikan pembenaran atas itu semua. Para pemula, pekerja, maupun pecinta fotografi memiliki pandangannya masing-masing tentang fotografi itu sendiri dan itu sah-sah saja! Itulah yang disebut dengan ambiguitas (dualisme) paradigma dalam fotografi kekinian. Semua kemungkinan bisa terjadi (diciptakan).

 

Dalam penciptaan sebuah karya, termasuk karya foto, memerlukan kreatifitas. Proses kreatif ini berawal dari pengolahan imajinasi atas pengamatan-pengamatan obyek sekitar, kemudian melahirkan sebuah ide atau gagasan kemudian dituangkan dalam sebuah karya. Mengamati gedung-gedung tua, aktivitas manusia, pohon-pohon dengan ranting yang mulai mengering, memerlukan kecermatan akan elemen-elemen dasar seni rupa yang terkandung di dalamnya, seperti : garis, bidang, ruang, warna, tekstur, irama, keseimbangan, kontras, mengamati berbagai sifat bahan, perpaduan dan timbal balik antara bentuk dan ruang. Sekali lagi unsur-unsur tersebut merupakan modal utama untuk memulai proses penciptaan. Gedung dengan gaya arsitekturnya jika dilihat dari angel tertentu dengan mempertimbangkan dan sadar akan komposisi kesenirupaan tadi tentulah akan menghasilkan karya foto yang lain dari biasanya yang sering diekspose. Di tengah hiruk pikuknya pasar, dengan lalu-lalang ratusan orang yang berpakaian dengan warna dan corak yang beragam memberikan tantangan tersendiri bagi fotografer untuk menghasilkan karya foto yang artistik. Ketepatan dan kecepatan pengambilan moment (snap shot) dalam kerumunan, tidak hanya membutuhkan kemampuan teknis atau penguasaan teknologi kamera, tapi juga dibutuhkan kepekaan indera kreatif. Kepekaan dan kecermatan itulah yang tidak dipunyai oleh semua orang. Mungkin saja fotografer spesialis foto pernikahan akan dibuat kebingungan menghadapi kerumunan orang yang susah dan tidak bisa ‘diatur’ tersebut. Tidak seperti waktu pemotretan pernikahan yang bisa diatur dan terencana. Mungkin saja.

 

Memahami fotografi kekinian (nouvellties), termasuk di dalamnya proses penciptaan sebuah karya foto, tidak bisa dipandang dari hasil akhir saja. Ada sebuah alur, irama yang menyertai proses penciptaan tadi. Lebih-lebih kalau karya foto tersebut berorientasi pada karya seni (fine art print). Sebagai teknologi, fotografi yang pada awal penciptaannya memang berfungsi sebagai alat perekam. Namun dengan berkembangnya kebudayaan, lahirnya seni kontemporer dan semakin meningkatnya daya apresiasi masyarakat terhadap fotografi, peran sebuah kamera tidak hanya sebatas sebagai alat perekam. Melainkan sudah menjadi media ekspresi yang mengikutsertakan peran estetika. Dari sinilah kemudian muncul karya-karya foto abstrak, karya-karya yang berkonsep kuat. Obyek yang diambilpun tidak melulu landscape dengan keindahan alamnya atau human interest dengan semua aktivitasnya. Benda-benda yang sering ditemui tapi luput dari perhatianpun bisa dijadikan obyek yang dapat menghasilkan karya foto yang artistik. Jika dalam proses pengambilan obyek tersebut memperhatikan aspek-aspek estetis. Aspek estetis bisa dicapai bukan semata-mata karena kelihaian dalam memanfaatkan aspek teknologi, namun (dan ini yang lebih penting) karena adanya aspek kesadaran dan keinginan untuk menciptakan sesuatu yang baru, yang lahir dari perenungan gagasan yang bersifat eksploratif.

 

Namun tidak dapat dipungkiri bahwa pada era sekarang, perjalanan fotografi beriringan dengan teknologi. Tidak hanya teknologi kamera tapi juga hadirnya teknologi software pengolah gambar. Sebut saja Adobe Photoshop, Light Zone dan masih banyak yang lain, seolah berperan penting untuk melengkapi “kebutuhan” fotografi. Kehadiran software-software tersebut jelas akan mengubah “nasib“ fotografi ke arah yang lebih baik. Tapi juga perlu diingat, jika kemampuan memanfaatkan teknologi tersebut tidak disertai pengetahuan dasar tentang fotografi dengan semua unsur kesenirupaan yang terkandung didalamnya, maka tidak akan bisa berbuat banyak dalam proses penciptaan konsep dan karakter secara visual dengan kuat, apalagi sanggup untuk berkomunikasi lewat karya fotografi. Banyak orang berdecak kagum pada hasil akhir karya foto yang diproses dengan software-software tersebut melalui komputer, hingga melupakan sisi humanis dan mengabaikan proses kreatif dan esensi fotografi itu sendiri. Sehingga karya fotografi dianggap ”murahan”, karena hanya bermodalkan perangkat komputer dan kemampuan menjalankan program hanya secara teknis. Sudah saatnya kini peran para seniman foto, komunitas pecinta fotografi bahkan para fotografer pemula dan mungkin juga lembaga-lembaga pendidikan yang membuka kelas fotografi untuk tidak hanya mengandalkan dan mengasah kemampuan secara teknis saja, namun juga menanamkan semangat berkarya dengan hembusan nafas kreatif, karena penguasaan teknologi yang tidak diimbangi dengan aspek kreatif, eksploratif dan estetis, maka ketotalitasan yang akan memberikan implementasi karya fotografi sebagai media ekspresi menjadi tidak optimal.

 

Artikel ini saya akhiri dengan sebuah kisah.

 

Pada suatu hari menjelang sore, sebut saja Jono, dengan gagahnya menenteng Canon EOS 350D dengan lensa zoomnya mondar-mandir sambil jepret sana-jepret sini di seputaran candi Borobudur. Berhubung jam kunjung sudah berakhir, maka pulanglah Jono dengan ekspresi wajah puas dan gembira. Setibanya di rumah, Jono mulai menikmati hasil huntingnya tadi lewat PC. Satu demi satu foto-foto tadi diolah dengan salah satu software terfavorit.  Dari mulai penambahan brightness, contras, color balance, saturation sampai bermain-main dengan layer dicoba semua oleh Jono. Langit disulap menjadi kuning keemasan dengan bias cahaya yang memancar. Dengan sedikit sapuan burn tool, maka terciptalah batu-batu candi menjadi lebih hidup. Intinya Jono ingin menghasilkan foto pemandangan yang indah. Titik. Tidak terasa malam sudah menjelang dini hari, tapi rasa kantuk tidak mengalahkan semangat Jono untuk terus “memodifikasi” foto-fotonya. Kalau dihitung-hitung waktu yang dihabiskan lebih banyak di depan komputer dari pada di belakang kamera. Tidak ada foto Jono yang tidak di edit. Perlu diketahui bahwa Jono tidak mempunyai latar belakang pendidikan yang berhubungan dengan fotografi apalagi mempelajari secara khusus. Kebisaan Jono muncul hanya sejak dia dibelikan EOS 350D oleh bapaknya beberapa bulan yang lalu. Hanya berbekal manual book, secara otodidak Jono terus menerus belajar dan bereksperimen.

 

Setelah Jono puas dengan hasil olahannya, kemudian dia connect ke www.fotografer.net. Setelah log in, dia upload salah satu fotonya yang menurut Jono foto pemandangan terindah. Kategori yang dia pilih adalah landscape, budaya dan wisata. Kategori olah digital tidak dia pilih. Dalam hitungan detik foto Jono sudah nangkring di galeri foto terbaru. Rasa bangga terpancar dari senyumnya yang lebar walau semalam suntuk dia tidak tidur.

 

Kali ini Jono tidak bisa menahan rasa kantuknya, sehingga dia tertidur di depan komputer. Tidak terasa sudah hampir dua jam Jono tertidur. Tiba-tiba Jono bangun dari tidurnya. Dia mendapati komputer masih hidup dan dalam kondisi on-line. Buru-buru dia tekan F5 untuk merefresh. Namun oleh admin, Jono diminta untuk log in ulang. Setelah log in, Jono langsung browsing galeri foto. Tujuannya hanya satu. Mencari tahu nasib fotonya. Ternyata foto Jono sudah “melompat” sampai page 9 berjajar rapi dengan karya-karya foto yang lain. Rasa kantuk dan penat yang masih tertahan di tubuh Jono, tiba-tiba sirna. Dia seakan tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Fotonya mendapat nilai tinggi. 155! Pelan-pelan dia baca satu-satu komentar yang diberikan dengan perasaan bangga. Ada yang bilang langitnya dramatis, pencahayaanya tepat, warna batu di candi kontras dengan warna langit dan masih banyak komentar lain yang hanya berbau teknis. Jono menghela nafas panjang mengekspresikan kepuasannya.