Judul karya foto bisa banyak bercerita tentang suatu foto. Mungkin pernyataan ini bertentangan dengan kredo yang umum diterima di kalangan fotografer, seperti “biarkan foto yang berbicara” atau “a picture speaks a thousand words.” Namun tidak dapat disangkal, penjudulan yang asal-asalan bisa merusak citra suatu karya, sebagaimana dikeluhkan oleh rekan Agan Harahap baru-baru ini. Bayangkan, suatu foto yang secara teknis fotografis sempurna, demikian menurut rekan Agan,  diberi judul “'Duuuh a'a...terus a' dikit lagi....” atau “BAPAK .....!!!! [Bantuin Aku Pegangin Anoe Kak !!!]," atau judul-judul lain yang senada itu. Keruan saja, karya foto yang sebenarnya artistik itu hanya jadi sebuah representasi keisengan yang berasosiasi dengan citra selera rendah yang tidak mencerminkan ketinggian nilai artistik foto yang bersangkutan.

Memang benar, penjudulan adalah hak fotografer. Apapun judul yang dipilih sang fotografer untuk karyanya, sah-sah saja. Namun ada baiknya para fotografer mempertimbangkan dengan matang judul untuk karyanya, karena selain dapat memberikan citra murahan, penjudulan yang asal-asalan juga bisa mengisyaratkan bahwa si fotografer tidak mempunyai gagasan, konsep atau previsualisasi yang jelas tentang karya yang dihasilkannya. Padahal, seperti kita tahu, gagasan atau konsep adalah hal utama yang membedakan seorang snapshooter dan fotografer.

 A snapshooter takes pictures. Snapshooting bisa dilakukan oleh siapa saja. Syaratnya cuma satu, yaitu kemampuan untuk memegang dan mengoperasikan kamera. Setelah itu, jepret, jepret, jepret … maka jadilah foto-foto yang apa adanya. Di antar foto-foto itu, mungkin saja ada yang bagus dan istimewa. Namun karena tidak dilandasi oleh suatu gagasan atau previsualisasi yang jelas, maka foto semacam itu tidak dapat dikatakan sebagai suatu karya seni, karena karya seni pada umumnya dilandasi oleh suatu inspirasi atau gagasan, yang dalam fotografi sering disebut sebagai previsualisasi.

Berbeda dengan snapshooter, seorang fotografer menciptakan foto (a photographer makes pictures). Perbedaan mendasar antara take dan make, sebagaimana sering diulas dalam artikel-artikel mengenai fotografi, adalah adanya unsur gagasan atau previsualisasi yang melandasi penciptaan suatu karya foto. Previsualisasi bisa jadi berlangsung lama dan melibatkan perencanaan yang matang dari segi komposisi, pencahayaan, set, dan sebagainya. Hal ini biasa dilakukan oleh para fotografer profesional. Para fotografer di National Geographic, misalnya, diketahui melakukan perencanaan berbulan-bulan sebelum melaksanakan tugas peliputannya. Fotografer legendaris seperti Ansel Adams pun diketahui melakukan hal serupa. Demikian juga fotografer produk yang bekerja di bidang periklanan, fesyen, dan glamor. Meskipun demikian, pembentukan gagasan dan previsualisasi tidak selalu harus berlangsung lama. Para jurnalis foto kelas dunia dapat menciptakan previsualisasi ini dalam hitungan waktu yang nyaris spontan ketika melihat momen penting yang berlangsung di hadapannya. Intuisi previsualisasi seperti itu tentu tidak didapat dengan tiba tiba, namun dengan pengalaman yang melatih ketajaman intuisi itu.

Kembali ke masalah penjudulan, seorang fotografer yang mempunyai gagasan yang jelas tentang fotonya umumnya tidak akan mengalami kesulitan berarti untuk memberi judul pada fotonya karena dia tahu betul esensi gagasan yang melandasi lahirnya karya fotonya itu. Namun, sekali lagi, penjudulan adalah hak prerogatif fotografer. Bisa jadi fotografer yang tahu betul esensi gagasan fotonya memilih untuk tidak memberikan judul pada fotonya (NT – no tittle), dengan harapan para penikmat karya fotonya bisa mengeksplorasi dan menafsikan sendiri kedalam makna karya yang bersangkutan.

Foto yang tanpa judul (NT – no tittle) menurut saya mempunyai kesempatan lebih baik untuk diapresiasi dibandingkan dengan foto yang diberi judul asal-asalan. Ketiadaan judul membuat orang berpikir dan menjelajah makna yang tersembunyi di balik representasi visual foto. Sementara itu, foto dengan judul asal-asalan langsung menciptakan prasangka (prejudgment) jelek mengenai foto ini. Di antara kedua ekstrem ini, foto-foto dengan judul yang baik akan membimbing penikmat foto untuk mengapresiasi keindahan dan makna foto yang ada di hadapannya. Judul yang baik bisa diibaratkan seperti sebuah pintu yang membukakan mata dan hati para penikmat karya foto relung-relung yang tersembunyi di balik tembok visual dua dimensi yang disebut foto.

Salam FN!