Hatiku gembira bukan main ketika membuka kotak lensa yang baruku dan sudah terbayang bayang pula apa yang akan dapat kulakukan dengan lensa tersebut. Walaupun harganya tidaklah murah, namun sesaat hanya ada senyum puas menghias bibirku.

“Hei Pie….” Sapaan temanku membangunkanku dari lamunanku. “Lu beli lensa lagi yah?” katanya sambil tersenyum. Mark namanya, seorang fotografer senior yang telah berumur lebih dari setengah abad, profil seorang fotografer yang sederhana dan rendah hati. Mukanya yang bulat dan berkeriput termakan usia, serta mata yang berbinar-binar selalu membuatku teringat akan tokoh Sinterklas (Santa Claus). Saya baru mengenalnya beberapa saat yang lalu pada suatu acara walaupun namanya sudah sering kudengar dan reputasi Mark sebagai salah satu dedengkot fotografi tradisional.

“Iya Mark, mudah-mudahan gua bisa memotret lebih baik lagi dengan lensa ini” jawabku sambil menunjukkan lensa baruku kepadanya. Mark hanya termangut-mangut dan sambil menimang-nimang lensa tersebut dia berkata “Harganya mahal ya, memang lensa bagus ini”. “ Kadang-kadang gua iri dengan kalian yang muda-muda ini” lanjut Mark “ Begitu mudahnya mengeluarkan duit banyak untuk mendapatkan lensa-lensa terbaik, sedangkan gua mikir seribu kali untuk ngeluarin duit segitu”

Saya terdiam, bukannya karena tersinggung karena perkatannya. Namun waktu itu saya baru sadar bahwa kamera maupun lensa Mark adalah kamera dan lensa tua. Memang kamera tersebut pernah jaya dimasanya. Sebuah kamera analog Nikon FM4 yang bentuknya  sudah tidak menarik lagi dibandingkan Canon DSLRku yang mentereng.

Pikiranku melayang pada foto karya-karya Mark. Nilai seninya tidak diragukan lagi, jangankan fotografer pemula seperti saya, bahkan fotografer paling top di Jakarta pun mengakui karya Mark sebagai “karya cita rasa tinggi”. Selain itu Mark juga telah mendapatkan gelar Associateship of Royal Photographer Society (ARPS). Sebuah institusi fotografi yang paling bergengsi dan terkenal ketat dalam menilai karya seni fotografi dan pemberian gelar. Karya-karyanya telah diakui mempunyai jiwa dan cita rasa tersendiri, terlepas dari pakem-pakem teknis yang kadang menjadi kungkungan berpikir bagi fotografer pemula.

“Kenapa berpikir seribu kali gak dua ribu kali saja berpikirnya?” tanyaku sambil bercanda ringan.

“Gini loh Pie” katanya sambil mengembalikan lensaku ke dalam kotaknya. “ Ada gap besar antara fotografer muda dan fotografer tua. Fotografer tua terlalu sombong untuk belajar teknologi baru dan mengajarkan teknis dan seni fotografi kepada yang muda-muda.

Sedangkan fotografer muda sangat kuat di teknologi, namun lemah sekali di teknis dan seni fotografi. Kalian yang muda-muda sering berpikir bahwa dengan teknologi semua bisa diatur” Kata Mark “ Yang penting jepret duluan, urusan lainnya dibereskan di photoshop, sehingga melupakan tahapan yang paling penting, yaitu visualisasi. Jarang dari kalian yang mau merenung, berpikir dan membayangkan sebelum memotret. Apalagi kalau motret swimsuit, pada histeris semua, pasang burst shoot dan selama CF belum penuh hantam terus” Sambil tertawa renyah dia pun mencomot sepotong pisang goreng bekas semalam.

“Masalahnya fotografi itu adalah sebuah system, perpaduan harmonis antara otak, hati dan teknologi, memang teknologi dan otak akan membantu, dan namun pada akhirnya yang menentukan adalah hati. Pernah gak lu terpikir untuk menjadikan gelar A.RPS sebagai motivasimu?.”

“Aaaahhhh……Apa pula itu Mark, maksudmu percuma gua beli lensa ini ?” Ucapku sambil melirik lensa baruku.

“Bukan…..Bukan begitu, maksudku lu mesti investasinya berimbang, antara teknologi, otak dan hati. Namun utamakanlah investasi hati. Karena seni itu tidak ada pakemnya, seni itu dinikmati dengan hati bukan dengan otak”. “Wah itu sih gua sering dengar Boss” sahutku “Namun rasanya kalimat yang tadi ada di langit, gak membumi….kita (Yang muda-muda) bukannya tidak mau belajar memakai hati, tapi kita gak tahu caranya…”

Sepintas saya bias melihat Mark berkerut keningnya sebelum dia melanjutkan “Nah maka karena itu, lu perlu kembali meninjau motivasi lu motret (Saya jadi teringat thread yang dibuat Bung Kristupa Saragih di FN) lu mau jadi tukang jepret doing atau lu mau mengejar kualitas? Kalau memang mau kualitas, gua sarankan lu berhenti invest di lensa dan peralatan lainnya dulu. Selama lu berpikir bahwa dengan peralatan yang canggih bias menghasilkan hasil yang baik, lu salah besar !”

“Nah Lu” pikirku dalam hati “Bukankah selama ini topik diskusiku dengan teman-teman lainnya sekitar peralatan, bagaimana Lensa Canon L 85mm (Sorry buat yang beragama Nikon dan sekterian lainnya J ) bisa menghasilkan foto yang tajam sekali, memanfaatkan lensa ini dan itu….filter ini dan itu….kamera ini dan itu…berarti memang betul bahwa tanpa disadari kita selalu berputar-putar pada investasi yang salah selama ini.”

“Jadi inilah perintahku” Lanjutnya dengan suara berat dan sambil berseloroh menaikkan sebuah buku ke atas kepalanya menirukan gaya Film Nabi Musa seperti yang kita sering lihat di toko DVD.

1. Jauhkan darimu lensa-lensa mahal itu
2. Bergembiralah dan mensyukuri kamera bututmu
3. Jadikan kualitas sebagai motivasimu bukanlah kuantitas, karena kuantitas tidak akan membawamu kemana-mana
4.. Berjanjilah tidak akan mengaktifkan burst shot.
5. Selalu merenungkan dan visualiasi sebelum menjepret
6. See the light, and feel the light (Saya tahu dia mengutip salah satu dedengkot fotografi)

Nomor tujuh sampai sepuluh isi sendiri” Sambil menurunkan tangannya Mark cekakakan dan bertanya retoris.

“Nah sekarang menurutmu apa perlu mengejar gelar L/A/F.RPS setelah diskusi tadi, lu pikirin deh, kasih tahu jawabannya ke gua minggu depan”

Lantas dengan ringan Mark menyomot potongan pisang yang terakhir dan ngeloyor pergi meninggalkanku yang masih termangu-mangu dan berusaha untuk mencerna isi diskusi singkat tadi.

Rekan-Rekan, mungkin dari cerita yang sederhana di atas membuat kita berpikir mengenai motivasi fotografi kita, ke mana kita berinvestasi selama ini, seberapa kita peduli terhadap kualitas karya kita. Mungkin memang kualitas karya kita belum terbilang bagus, hal itu juga tidak lepas dari cara kita mau menginvestasikan waktu, tenaga dan uang tentunya. Apakah kita menginvestasikan ke gear, lensa, kamera, dsb. Atau ke peningkatan keahlian teknis dan seni fotografis yang sangat dikuasai sangat kuat oleh fotografer pendahulu kita. Apakah kita perlu menjadikan gelar L/A/F.RPS dll untuk menjadi motivasi kita. Hal tersebut hanya dapat dijawab masing-masing, karena memang motivasi masin-masing juga berbeda-beda. Saya percaya tidak ada jawaban yang benar maupun yang salah. Yang ada hanya jawaban yang tepat, dan saya telah menemukan jawaban yang tepat setidaknya untuk saya sendiri.

Karakter Mark dan cerita yang diatas adalah fiktif dan rekaan belaka, memang diinspirasikan oleh pembelian lensa baru dan pembicaraan mengenai gelar yang diberikan Royal Photographic Society. Tidak ada tujuan lain dari saya selain sharing pendapat saja.

Bagi yang mau cek ke site RPS :  www.rps.org

Peace,

Pie