Karya fotografi merupakan salah satu bentuk cipta kreasi yang dilindungi oleh Hak Cipta. Jangan pernah coba memublikasikan atau menggunakan foto karya orang lain tanpa seijin fotografer yang bersangkutan. Akibat hukumnya bisa jadi akan sangat memberatkan.
 
Majalah Berita Mingguan Tempo, edisi 9 April 2006, pada halaman 88 memuat artikel tentang kasus gugatan hak cipta yang melibatkan seorang fotografer bawah laut melawan Harian Media Indonesia.  Kasus bermula ketika pada bulan Februari 2004 lalu, Michael F.E. Sjukrie, seorang instruktur selam, diminta menjadi pengawas selam oleh tim ekspedisi Metro TV yang akan mengadakan peliputan panorama bawah laut di perairan Sorong, Papua. Dalam tim tersebut ikut pula fotografer Media Indonesia, Adam Dwiputera.
 
Di sela-sela menjalankan tugasnya, Michael mengabadikan panorama bawah laut dengan menggunakan kamera khusus bawah air miliknya. Sesekali Michael meminjamkan kamera tersebut kepada Adam. Malam harinya, mereka terlibat diskusi tentang foto-foto tersebut, sekaligus saling bertukar foto.
 
Pada 27 Februari 2005, Media Indonesia menurunkan suplemen berjudul "Panorama Papua", dengan memuat beberapa foto hasil jepretan Michael. Tetapi foto-foto itu ditulis atas nama Adam, beberapa bahkan disebut sebagai "istimewa" tanpa menyebutkan nama Michael.
 
Merasa dirugikan, Michael menghubungi Adam dan meminta dilakukan ralat. Janji Adam untuk segera melakukan ralat tidak kunjung terpenuhi, malahan pada tanggal 15 Juni 2005 tampil lagi sebuah foto milik Michael di harian yang sama. Lagi-lagi atas nama Adam. Michael kemudian menunjuk lawyer untuk mengurus kasus pelanggaran hak cipta tersebut. Michael meminta foto-fotonya dibayar cukup besar, karena menurut dia, disamping membutuhkan peralatan khusus, foto-foto tersebut tergolong sebagai foto moment, karena merekam momen yang tidak dapat diulang lagi.
 
Upaya perundingan dan damai yang diupayakan tidak membuahkan hasil. Pada awal Juli 2005, Media Indonesia sempat memuat permintaan maaf sehalaman penuh dan memuat lengkap foto-foto karya Michael. Perkara tersebut menggelinding ke meja Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Melalui putusan yang dikeluarkan Oktober 2005, PN Niaga memenangkan Michael dan menghukum Media Indonesia membayar ganti rugi kepada Michael sejmlah Rp.120 juta.
 
Merasa tidak puas, Media Indonesia mengajukan upaya hukum kasasi. Lagi-lagi, Media Indonesia  harus menerima kenyataan pahit. Mahkamah Agung pada 18 Januari 2006 justru menguatkan putusan pengadilan Niaga yang memenangkan Michael. Cuma, besarnya ganti rugi diperkecil menjadi Rp. 45 juta 'saja'.
 
Media Indonesia melalui kuasa hukumnya menyatakan kemungkinan mereka akan mengajukan peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung.
 
Sambil menunggu kelanjutan kasus ini, mari kita memetik hikmah dari kejadian tersebut. Ada sebuah pelajaran berharga bagi kita para fotografer, baik yang amatir maupun profesional. Ketika kita, suatu waktu, mendapati adanya pelanggaran hak cipta atas foto-foto karya kita atau foto karya rekan kita, tindakan apa yang akan kita lakukan? Berdiam diri saja, menerima keadaan, menyumpah serapah atau melakukan perlawanan?
 
Apa yang coba ditempuh oleh rekan Michael perlu kiranya untuk dipertimbangkan. Saya teringat beberapa waktu lalu, beberapa rekan FNers mengadukan foto-foto mereka yang dipergunakan pihak lain tanpa seijin mereka. Yang juga disayangkan, situs tercinta kita ini masih saja belum bersih dari pembajakan foto di antara sesama member. Sering kita dapati seorang member yang sangat terobsesi untuk memajang karya foto, tetapi kemudian melakukan jalan pintas dengan 'mencuri' foto orang lain atau mengambil dari internet. Itu namanya pelanggaran hak cipta, yang pelakunya dapat dijerat dengan Undang-Undang No. 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta. Jadi, bagi yang pernah, doyan atau sedang berencana untuk membajak foto karya orang lain, berhati-hatilah! 

Untuk Saudara Michael, salut buat Anda dan maju terus, jangan pantang menyerah memperjuangkan hak cipta foto Anda. Saya yakin jika PK benar-benar akan diajukan oleh Media Indonesia, Mahkamah Agung yang (mudah-mudahan telah) berpikiran maju akan menolaknya. Ini akan menjadi yurisprudensi yang penting bagi penegakan hukum hak cipta, terutama hak cipta atas karya fotografi.