BEBERAPA tahun terakhir ini sering kali muncul kasus peredaran foto tidak senonoh. Mulai dari foto almarhumah Sukma Ayu-Bjah, Syaharani, hingga yang terakhir foto topless Putri Indonesia Artika Sari Dewi. Pertanyaan yang selalu mengiringi kasus tersebut adalah apakah foto tersebut asli atau tidak.

Yang patut dikaji lebih mendalam adalah kriteria foto yang bisa disebut asli. Kesimpulan bisa berujung pada beberapa kondisi, foto tersebut asli dan obyek pelakunya sesuai dengan yang disebut, foto tersebut asli namun obyek hanyalah orang yang mirip dengan orang yang disebut, dan yang terakhir adalah foto tersebut merupakan hasil rekayasa digital.

Dalam berbagai kasus di atas, parameter teknis yang sering disebut adalah EXIF (Exchangeable Image File Format). Format EXIF adalah kumpulan informasi teknis yang dilekatkan pada header file gambar, yang standarnya dikembangkan oleh Japanese Electronics Industry Development Association (JEIDA) sebagai usaha untuk mempermudah dan membuat standar dalam pertukaran data antara perangkat lunak pengolah citra dan perangkat keras seperti kamera. Format EXIF yang dihasilkan oleh kamera tidaklah seragam, tetapi pada umumnya EXIF memiliki data tanggal pengambilan gambar, digital ISO, kecepatan rana, diafragma, dan jenis kamera.

Foto-foto hasil kamera digital dapat dilihat data EXIF-nya dengan menggunakan perangkat lunak khusus seperti EXIFER atau perangkat lunak pengolah citra seperti Photoshop atau ACDSee. Sistem operasi Windows maupun Linux juga menyediakan file browser yang dapat melihat EXIF.

Dulu, saat kita belajar memotret menggunakan film, setiap kali menekan tombol rana kita harus membuat catatan data teknis yang kita gunakan untuk keperluan evaluasi. Pada kamera digital, hal tersebut tidak perlu lagi karena EXIF membantu kita untuk melakukan pencatatan tersebut.

DALAM penggunaan EXIF melacak keaslian sebuah foto, pertama-tama harus dilakukan adalah pengecekan format EXIF itu sendiri. Tiap kamera memiliki format EXIF yang tidak persis sama. Format EXIF pada foto yang diselidiki harus dibandingkan dengan EXIF dari foto lain yang difoto menggunakan kamera yang sejenis. Jumlah data dan formatnya harus sama strukturnya.

Jika sama, tidak berarti bahwa kita sudah dapat memastikan bahwa foto tersebut asli. Data EXIF itu harus diuji apakah sesuai dengan tampak visual foto tersebut. Misalnya jika data di EXIF bertuliskan menggunakan lensa tele, tetapi pada foto terlihat lebar seperti menggunakan lensa wide. Tentu saja bisa dipastikan bahwa data EXIF yang ada pada foto tersebut sudah dimanipulasi.

Tanggal pengambilan foto pun bisa dibandingkan jika foto tersebut memuat gambar yang terukur waktunya, misalnya foto kampanye calon presiden di daerah tertentu. Tanggal dan jam yang tertulis di EXIF bisa dibandingkan apakah sesuai dengan keadaan sesungguhnya. Hubungan antara ISO digital dan kehalusan butiran gambar juga bisa dilihat kewajarannya. Makin tinggi ISO, butir-butir foto akan tampak semakin jelas dan kehalusan fotonya berkurang.

Meskipun banyak menyimpan informasi teknis yang sangat berguna untuk mengira keaslian sebuah foto, EXIF sendiri tidak bisa dijadikan parameter utama. Menggunakan perangkat lunak tertentu, seperti Power EXIF (http://www.opanda.com/en/ pe), data EXIF bisa diubah sesuai dengan keinginan kita. Hal ini membuat kita tidak dapat hanya bergantung pada data EXIF saja.

PROSES penentuan keaslian sebuah foto tidak bisa berhenti sampai analisis data EXIF saja. Masih ada beberapa unsur lainnya yang sebenarnya jauh lebih penting untuk dapat dianalisis selain EXIF, terutama dari sisi fotografi. Misalnya, perbandingan besar obyek dan distorsi obyek utama dan latar belakangnya. Latar belakang foto sering kali juga bisa banyak bercerita mengenai lokasi pengambilan foto, hal ini bisa dibandingkan dengan alibi keberadaan obyek foto. Pada proses pengujian ini tentu saja dibutuhkan penelitian yang bersifat non-digital, seperti mencocokkan lokasi dengan tampak visual sebuah foto.


Tampak Wajar Berdasarkan data EXIF, kecepatan buka rana foto ini adalah 1/20 detik.
Kecepatan ini adalah wajar jika melihat efek blur kereta api yang menjadi background.
Panjang lensa yang 28 mm dan blitz yang tidak digunakan juga tampak wajar pada foto. *

Besaran ukuran file dengan perkembangan teknologi kamera digital juga patut dipertimbangkan. Misalnya, sebuah foto kejadiannya pada 5 tahun yang lalu diakui dipotret dengan kamera digital dan disebut ukuran file-nya 20 megapiksel. Tentu saja tidak mungkin karena kamera digital ukuran tersebut baru beredar beberapa tahun belakangan ini.

Warna pada setiap elemen foto juga perlu diuji apakah terasa wajar atau tidak. Jika terdapat sumber cahaya dominan pada sebuah foto, arah jatuh bayangan juga bisa diteliti apakah wajar atau terdapat penyimpangan. Jika pemotretan dilakukan di studio dan menggunakan lampu studio, pada titik mata obyek biasanya juga dapat dilihat posisi dan jenis lampu yang digunakan.


Pembesaran Mata Dari hasil pembesaran bagian mata model, bisa ditebak bahwa
pemotretan menggunakan satu buah lampu soft box yang berada di sisi kiri model.
Bayangan halus yang jatuh ke sisi kanan model wajar didapatkan dengan
penggunaan lampu jenis ini.

Masih banyak parameter teknis lainnya yang bisa diuji. Parameter ini sangat erat kaitannya dengan teknis fotografi sehingga orang awam yang tidak mengerti fotografi sulit untuk menganalisis foto dengan berbagai parameter teknis tersebut, meskipun orang tersebut bisa dianggap pakar dalam bidang teknologi informasi.

Dengan menggunakan perangkat lunak pengolah citra seperti Photoshop, dapat juga diuji keaslian sebuah foto. Pengujian dilakukan dengan melakukan pemisahan warna pada setiap lapisan warna. File JPG dengan format RGB, baik 8 maupun 16 bit, terdiri dari tiga lapisan warna, yaitu merah, hijau, dan biru. Tiap lapisan warna dilakukan pengubahan level secara drastis. Jika foto merupakan hasil montase (penggabungan) digital, biasanya ada beberapa bagian yang perubahan citranya tidak sama.

Kalaupun pada semua pengujian teknis ini tidak didapatkan tanda-tanda yang tidak wajar, tidaklah berarti suatu foto bisa disebut asli. Kasus foto Artika Sari Dewi bisa dijadikan contoh yang menarik. Ketua Yayasan Putri Indonesia Wardiman Djojonegoro menuding bahwa foto yang beredar itu adalah rekayasa komputer. Belakangan diketahui bahwa foto yang beredar tersebut adalah asli, hanya, itu bukan foto Artika. Namun, foto dari Miss Tiffany's Universe 2005, yaitu sebuah kontes waria yang berlangsung pada 7 Mei lalu di Thailand. Jadi, kalaupun secara teknis sebuah foto bisa disebut asli, masih harus diuji lagi, apakah obyek foto betul-betul adalah orang yang diberitakan.

Cukup banyak detail teknis yang bisa diteliti untuk mengetahui keaslian suatu foto, dan bukan melulu masalah data EXIF. Pada akhir proses pengujian, yang bisa ditentukan ialah apakah sebuah foto adalah wajar atau ditemukan tanda-tanda adanya manipulasi. Sulit untuk menyatakan dengan tegas, apakah suatu foto benar-benar asli.

Foto : Valens Riyadi Dimuat di Kompas : http://www.kompas.com/kompas-cetak/0506/27/tekno/1840530.htm