Karyanya Mengilhami Film

SELAMA ini fotografi selalu dipandang sebagai cabang seni. Namun, dalam dunia global seperti sekarang ini dimana sebuah keahlian bisa dipandang dari sisi mana pun, bisakah fotografi dipandang sebagai cabang teknologi?
 
Adalah Emory Kristof  (63 tahun), yang memberi  sebuah pernyataan unik saat berjumpa dengan sejumlah fotografer Jakarta Senin (24/1) lalu. "I am a photography engineer," katanya.
 
Ya, Kristof mengaku bahwa dirinya adalah seorang "insinyur" fotografi. Sebuah pernyataan yang bisa dipandang sebagai mengada-ada, namun bisa juga menjadi bahan pemikiran lebih jauh.
 
Kenyataan lapangan dari pengakuannya itu memang sangat menakjubkan. Apa yang dikerjakan Kristof selama ini memang sangat berbau teknologi.  Ia dikenal sebagai pelopor dan inovator di bidang fotografi bawah air dengan menggunakan robot kamera dan remotely operated vehicles (ROVs).

 
Kristoflah yang  menciptakan desain awal untuk sistem elektronik kamera yang dipasang di ROV bernama Argo, yang berhasil memotret bangkai Titanic untuk pertamakalinya pada tahun 1984.  Pemotretan Titanic yang lebih sempurna dilakukannya lagi pada tahun 1991 dengan wahana bernama MIR.
 
Dari hasil pemotretan-pemotretan Kristof pada kapal Titanic lah dunia lalu jadi tahu keadaan sebenarnya kapal legendaris itu setelah tenggelam hampir seratus tahun lalu. Dengan ide dari foto-foto Kristof jugalah yang akhirnya lahir film peraih beberapa Piala Oscar, Titanic,  dengan bintang Leonardo DiCaprio dan Kate Winslet. Foto-foto nyata Titanic karya Kristof lebih memberikan gambaran jelas daripada foto dari sonar yang telah ada sebelumnya.
 
Tanggal 24 sampai tanggal 28 Januari 2005, Kristof yang fotografer majalah ilmiah petualangan National Geographic tahun 1964-1994 ini memamerkan karya fotografi bawah lautnya di Gedung Arsip Nasional, Jakarta. Dengan tajuk “Deep Sea”, pameran foto ini digelar dalam rangkaian peluncuran versi Bahasa Indonesia dari majalah National Geographic pada bulan Maret mendatang.
 

Dari pemotretan kapal Titanic saja, sebenarnya definisi fotografi "konvensional" sudah diobrak-abrik oleh Kristof. Ia tidak memotret dengan cara lazim, yaitu sang fotografer datang ke lokasi dengan kamera di dadanya, lalu jepret sana-jepret sini. Dengan kondisi kapal Titanic yang berada di dasar laut pada kedalaman 3810 meter, jelas sampai saat ini belum ada fotografer yang bisa memotretnya dengan cara biasa. Tekanan air di daerah kapal Titanic demikian besarnya sehingga sebuah mobil bisa terperas sampai sebesar sebuah sepeda motor saja.
 
Yang juga membuat cara Kristof lebih dekat ke teknologi daripada seni adalah pada realita tantangan pemotretan yang dilakukannya. Dengan mengkhususkan diri pada pemotretan bawah laut, jelas ia harus memahami mekanika dan elektronika lebih banyak daripada seni. Tidak semata kamera yang digunakan sangat khusus, namun juga harus ada wadah bagi kamera itu yang bisa melindunginya dari tekanan sangat tinggi.
 
Selain itu, dengan kedalaman hampir empat kilometer, jelas Kristof membutuhkan pengendali jarak jauh yang sangat handal. Pengendali ini juga dua arah, artinya selain ia bisa mengamati apa yang "dilihat" kameranya, Kristof juga bisa memberikan perintah real time pada peralatannya yang berada jauh di dasar sana.
 
Selain itu, orang yang gemar fotografi pasti tahu sulitnya memotret dengan cahaya buatan alias dengan lampu kilat. Di dasar laut yang luar biasa dalam, keadaan luar biasa gelap. Selain itu, di dasar laut nyaris tidak ada bidang yang bisa memantulkan cahaya. Dengan demikian, sebuah lampu kilat yang menyala di dasar laut hanya akan menghasilkan sinar untuk sang objek saja. Padahal, objeknya pun sangat tidai terduga karena tidak bisa disurvai terlebih dahulu.
 
Maka, pemotretan Kristof pun dari segi pengaturan pencahayaan buatan pun sangatlah rumit. Ia tidak bisa menggunakan flash meter atau spot meter untuk mengukur akurasi pencahayaan. Walau memakai cahaya buatan sepenuhnya, fotografi Kristof bukanlah fotografi studio dengan model yang bisa kita atur posenya.
 
Dan satu yang terpenting, pada tahun 1984 saat memotret Titanic itu, Kristof telah memakai teknologi pemotretan non-film, namun belum digital seperti yang kita kenal akhir-akhir ini. Ia mengatakan bahwa pemotretannya memakai sarana rekaman elektronik definisi tinggi.
 
Selain proyek pemotretan Titanic, Kristof juga  memimpin  sebuah survey fotografi bangkai  kapal perang Alabama milik tentara Konfederasi pada tahun 1992 di perairan Perancis. Pada tahun 1993 ia juga ikut ekspedisi bangkai kapal San Diego, kapal dagang asal  Spanyol dari abad ke-16, yang karam di perairan Filipina. Di tahun 1995 ia memimpin ekspedisi pengangkatan kapal Edmund Fitzgerald dari Amerika Serikat, dan menayangkan dalam sebuah cuplikan liputan televisi berkualitas tinggi mengenai kehidupan di laut dalam.
 
Karya fotografi Kristof secara umum  telah membuka dan menggali kehidupan di dunia laut dalam kepada dunia. Artikel Kristof dan Bill Cursinger berjudul "Mengetes Perairan Rongelap" telah dipublikasikan di majalah National Geographic edisi  April 1998.  Kisah itu mengungkapkan kehidupan bawah air di perairan Kepulauan Marshall yang telah terkontaminasi limbah nuklir.
 
Pada bulan Agustus 1991, foto-foto  Kristof  tentang Titanic muncul di majalah National Geographic dalam artikel berjudul "Tragedi Dalam Tiga Dimensi". Foto-toto dari liputan tahun 1991 tersebut menggunakan sistem pencahayaan densitas tinggi, yang menghasilkan  detil yang sangat luarbiasa melalui penyuntingan  komputer 3-Dimensi.
 
Sebenarnya, Kristof tidak pernah bermimpi akan menjadi fotografer dengan bidang liputan demikian khusus. Ia yang lahir pada  tahun 1942 ini masuk jurusan jurnalistik di Universitas Maryland di College Park dan meraih gelar sarjana tahun 1964. Setelah lulus, ia langsung  menjadi fotografer majalah National Geographic yang kemudian dijalaninya sampai selama 30 tahun. Dalam periode ini pula, ia sempat menulis sampai 39 artikel untuk mejalah itu.
 
Karya-karya Kristof telah memenangkan banyak penghargaan, baik dalam bidang tulisan maupun fofografi. Namun, penghargaan yang terpenting baeangkali hadiah J.Winton Lemen Fellowship Award tahun 1998 dari U.S. National Press Photographers Association. Ia dinobatkan sebagai, "salah seorang dalam profesi kita yang paling inovatif dan imajinatif, dengan minat yang sangat khusus dalam foto-foto dari kedalaman samudera, yang dipersembahkannya  kepada pembaca majalah National Geographic."  (Arbain Rambey)