Tanggapan atas artikel : Fotografer Indonesia terjebak Komposisi 9 bagian

Membaca artikel yang ditulis oleh rekan Iwan Zahar M.Sc, yang bertajuk “Fotografer Indonesia terjebak Komposisi 9 bagian” saya tergelitik untuk menanggapi. Komposisi 9 bagian adalah sebuah panduan melakukan komposisi yang pada umumnya mencukupi untuk mendapatkan komposisi yang lumayan baik. Bidang kertas dibagi tiga pada arah panjang dan lebarnya sehingga membentuk 9 buah bidang-bidang segi empat sama dan sebangun. Elemen elemen gambar yang akan di komposisikan diusahakan diletakkan menurut bidang bidang tsb, misalnya horison diletakkan di 1/3 tinggi atau 2/3 tinggi gambar. Bila ada pohon atau elemen vertikal semacam diletakkan 1/3 dari tepi kanan atau tepi kiri bidang gambar dst. Disitu disebutkan seolah olah kita di Indonesia ‘dicekoki’ pelajaran pembagian Komposisi 9 bagian dari sejak kecil sehingga akibat indoktrinasi itu berpengaruh kurang baik terhadap pengembangan kreatifitas kita. Saya agak heran, apakah kesimpulan itu sudah berdasarkan data yang memadai?. Ketika saya sekolah di jurusan arsitektur, seingat saya memang pernah ada pada satu kali sesi kuliah bahasan sepintas tentang komposisi 1/3. Komposisi 1/3 ini saya duga sama dengan apa yang disebut dengan komposisi 9 bagian yang dimaksud oleh Iwan Zahar dalam artikelnya. Tapi setelah itu, ‘doktrin’ tersebut tidak pernah ‘menghantui’ saya dalam membuat sebuah komposisi. Saya juga secara acak bertanya kepada beberapa rekan sejawat, apakah masih ingat teori komposisi 1/3 itu, mereka rata rata sudah lupa dan karenanya tidak memakainya sebagai panduan untuk mengkomposisikan sesuatu. Selain itu, teori itu tidak berasal dari Indonesia, demikian pula teori tentang proporsi, golden section, “golden triangle” dsb yang disebutkan oleh rekan Iwan Zahar M.Sc. Justru teori teori tersebut berasal dari dunia barat, dari Eropah. Kita masih ingat perbandingan perbandingan dalam buku standar: Neufert Architect Data yang nota bene berasal dari Eropah. Dihalaman halaman awal buku itu dijelaskan tentang proporsi perbandingan perbandingan semacam itu. Jadi kalau berbicara tentang siapa yang lebih mendoktrin generasi mudanya dengan aturan aturan tentang proporsi, komposisi, sections, dsb, justru budaya Eropah lah yang secara signifikan melakukan itu. Kita melihat perbandingan ukuran kertas A1, A2, A3, A4 itupun berasal dari sana. Menurut saya, justru kita di Indonesia ini, termasuk masyarakat ‘timur’ yang lebih mengandalkan ‘RASA’ dalam mengapresiasi sesuatu. Bukan rumusan seperti yang dituduhkan oleh Iwan Zahar M.Sc. Nampaknya pengamatan beliau terbalik samasekali. Mungkin beliau mengandalkan satu dua pengamatan pada sekolah foto di Indonesia yang kebetulan mengajarkan teori itu dari barat sana, dan kebetulan lagi ada beberapa siswa yang menerapkannya secara kaku, lantas berdasarkan pengamatan tersebut menggeneralisasi seolah oleh di Indonesia hal itu lebih diterapkan secara doktriner. Itu jelas sebuah pengamatan dan penyimpulan yang salah. Berbekal ‘kecurigaan’ yang salah itu lantas rekan Iwan Zahar M.Sc. berusaha memeriksa sekeliling yang ada di Indonesia. Foto foto pengantin di Foto Studio King atau Tarzan diamati. Kalau memenuhi aturan 1/3 atau komposisi 9 bagian itu lalu dituduh lagi mengikuti doktrin kaku itu… Nampaknya justru rekan Iwan Zahar sendirilah yang sedang terindoktrinasi dan berusaha keluar dari doktrin itu, bukan pengkomposisi di Indonesia pada umumnya. Kita lihat, contoh contoh yang diberikannya juga, dari benua Eropah dan Amerika. Seperti Royal Photographic Society of Great Britain (RPSdan Photographic society) of America (PSA) itu. Diunggulkannya dari Leonardo da Vinci sampai Ansel Adams. Nampaknya rekan Iwan Zahar M.Sc terlalu kagum kepada dunia barat secara tidak proporsional sehingga yang di Indonesia dianggap terperangkap doktrin 9 bagian sedangkan yang dari barat dianggap bila mengikuti masih ok. Silakan lihat artikelnya. Dari segi keindahan, kreatifitas, kita orang timur sebenarnya tak berada dibawah yang di Barat itu. Satu hal yang mungkin kita kurang adalah: Rasa Percaya Diri. Karena mengidap rasa kurang itu kita kerap membungkuk takzim ketika berhadapan dengan budaya barat. Padahal mestinya kita hanya boleh merasa kalah kalau secara obyektif terbukti kalah ketika diadu dengan kondisi yang adil dan sama. Bila hanya karena kecurigaan tak berdasar seperti itu sebaiknya kita tak usah belum apa apa sudah minder-minder dan menunjuk-nunjuk diri sendiri. Siapa diantara kita yang masih dihantui komposisi 9 bagian?. Kalau tidak banyak ada buat apa kita merendahkan diri dan berkata iya iya iya? Bebaskan diri dari rasa minder. Barat dan timur bukan perbedaan mendasar. Percaya diri dan Tidak itulah baru merupakan perbedaan. Merdeka! (Sudahkah?)

Ferry Wardiman – 17 Agustus 2003