D300 dan D3. Perlukah Dibeli Sekarang?

Oleh:  Tri Haryanto (12909)    16 tahun yang lalu

  0 

Tak pelak lagi, duo dinamik teranyar besutan Nikon, D300 dan D3, telah berhasil menjawab rasa geregetan para penggila Nikon akan performa kamera kesayangan mereka yang beberapa tahun belakangan ini terkesan ketinggalan di belakang pesaing utamanya, Canon. Sekarang, mereka tak perlu lagi say-what (baca: sewot) dengan keleletan fitur pada kamera yang asmanya mirip-mirip negara pembuatnya ini. Warna-warni cemerlang yang lebih indah dari aslinya, keberisikan yang rendah pada ISO tinggi, kemampuan memotret multi-bingkai dengan kecepatan sampai 9 bingkai per detik, serta sensor seluas bidang gambar film gulungan (khusus D3) adalah hal-hal yang selama ini dituntut ada pada kamera digital Nikon pantulan lensa tunggal.

Sialnya, untuk bisa Menik is dead (baca: menik-mati) seabrek fitur unggul yang disematkan pada kedua besutan tadi, pecinta Nikon harus menebusnya dengan mahar yang kelewat tinggi. Saat ini (akhir tahun 2007), bodi D300 ditempeli plester bertuliskan angka 17 juta, sedangkan D3 dililit band the roll (baca: banderol) bergrafir angka 50 juta! Sungguh itu adalah angka-angka yang lebih akrab dengan mereka yang berlabel tud-year good-year (baca: tajir-gujir). Sementara, penggemar fotografi dari kasta Sudra dan Paria harus cukup puas dengan bermimpi dulu.

Pertanyaannya, bagi para pengidam kamera-kamera ini (baik yang uangnya tumpah-ruah maupun mereka yang musti mengumpulkannya dengan pengorbanan yang maha berat), tepatkah mendapatkan barang-barang tersebut pada saat ini? Bijakkah jika waktu dibiarkan berlalu dulu sambil menunggu kemungkinan harganya turun ke tea-tick (baca: titik) yang wajar?

Jika kita mau membalut diri kita dengan falsafah Jas Merah (Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah), strategi menahan diri -- setidaknya untuk enam bulan -- rasanya adalah tindakan yang tepat. Sudah jamak diamini oleh banyak pengamat bahwa produsen (yang bersekutu dengan blantik/pedagang) senantiasa lee-hay mempermainkan emosi konsumen. Sebuah produk baru akan selalu dicitrakan memiliki sederet keistimewaan dan keeksklusifan yang tidak dimiliki oleh produk sebelumnya. Hal ini dilakukan bahkan sebelum produk itu digelontorkan ke pasar: dengan dihembuskannya desas-desus, preview-preview, prediksi-prediksi, dan segala macam stimulan yang membuat hati calon konsumen gatal kerana penasaran.

Tidak puas sampai di sini, setelah barangnya terbebas dari pintu pabrik, pengeluarannya dari gudang pun diincrit-incrit. Produsen seolah sengaja memberi kesan bahwa barang yang ditunggu-tunggu ini segera ludes begitu ditaruh di lemari pajang. Ini membuat para konsumen penasaran tadi semakin gatal. Walhasil, mereka pun rela nama mereka dicantumkan dalam daftar pesinden (pesan tapi inden). Praktek bernuansa lee-cheek (baca: licik) seperti ini juga jamak dilakukan di dunia permobilan. (Ingat kasus-kasus yang terjadi khususnya pada penjualan mobil Kijang baru).

Kita tentunya belum lupa sewaktu Nikon D70 pertama kali dirilis ke pasar Indonesia pada pertengahan tahun 2004. Dengan didahului sederet sesumbar tentang keunggulan besutan ini, para blantik kamera ngasal saja menjeplakkan angka 12,3 juta untuk bodi atau 16,1 juta untuk kit. Konsumen yang tengah terpancing nafsunya saat itu mudah saja tergiring ke jerat strategi yang dibentangkan produsen dan blantik. Maka, sukseslah pekerjaan mereka memperdaya konsumen.

Setelah layar kalkulator para blantik tidak muat lagi ditambahi angka lantaran keuntungan sudah berlipat ganda, barulah sisa D70 yang masih mangkrak di lemari dilepeh dengan harga yang wajar. Disertai dengan isyu diskontinyu serta sas-sus bakal datangnya seri yang lebih baru sebagai penyempurnaan, maka, di awal tahun 2005, digebuklah bende untuk menandai turunnya harga kamera ini pada angka 7,5 juta (bodi saja). Walhasil, gerutuan panjang pun tersorong keluar dari sela-sela bibir para pembeli generasi pertama yang tersadar bahwa selama ini mereka kena getok. Apa boleh buat, sesal kemudian tak ada gunanya.

Kasus serupa terjadi juga pada D200. Pada saat kemunculannya di kuartal kedua tahun 2006, para blantik menggantungkan mahar sebesar 17,5 juta untuk bodi kamera ini. Kini, satu setengah tahun kemudian, benda yang sama ditawarkan dengan angka antara 11 sampai 12 juta. Angka terakhir inilah nilai wajar yang sesungguhnya, alias angka yang mewakili azas keadilan dan etika dalam perdagangan. Dengan harga segini pun si blantik dan produsen sudah mendapat keuntungan yang layak. Karenanya, pemasangan label hingga 80% lebih tinggi dari angka yang wajar adalah cerminan dari praktek perdagangan yang berazaskan kenggeragasan.

So, moral yang bisa dipetik dari rangkaian fakta di atas:

  • Waspadalah dengan jerat strategi pemasaran yang dipasang produsen dan pedagang.
  • Kalahkanlah diri sendiri dengan menekan nafsu belanja sedalam mungkin.
  • Menunggu setidaknya hingga 6 bulan ke depan sebelum memutuskan membeli adalah keputusan yang cukup bee-jack (baca: bijak).
Eksepsi: orang-orang yang tidak ada masalah dengan uang…yang ini jelas lain cerita.
Belum ada komentar