<share> MENGGALI KREATIVITAS MELALUI LAYANG-LAYANG (Festival layang-layang, pantai Parangkusumo, Yogyakarta, 8-9 okt 2011)

Oleh: Alfian Widiantono S. (1976)    12 tahun yang lalu

  0 

MENGGALI KREATIVITAS MELALUI LAYANG-LAYANG

Tidak ada yang tahu pasti kapan layang-layang pertama kali dibuat dan digunakan dalam sejarah manusia. Namun sejauh ini sebuah catatan pernah menyebutkan bahwa layang-layang tertua yang mempunyai fungsi khusus (bukan sekedar mainan) adalah hasil karya bangsa Tionghoa sekitar abad 400 SM. Saat itu layang-layang digunakan dalam dunia militer yakni untuk mengukur jarak antara dua kelompok tentara saat perang dan juga untuk menakut-nakuti lawan. Layang-layang bangsa Tioghoa saat itu umumnya terbuat dari kain sutra dan bambu yang menyerupai suling, sehingga bisa mengeluarkan suara jika terkena hembusan angin cukup keras. Saat itu bentuk layang-layang masih sangat standar, yaitu bentuk persegi atau kotak, hingga akhirnya layang-layang mencapai “puncak” kejayaanya di masa dinasti Ming dan Qing di tahun 1300-1700an. Di masa itu layang-layang mengalami perkembangan yang sangat pesat baik dalam hal teknik pembuatannya, material pembuatnya, maupun bentuk serta coraknya. Saking pesatnya, layang-layang menjadi kerajinan tersendiri dan menjadi semacam hadiah atau cinderamata.
Di penjuru dunia yang lain, layang-layang digunakan di berbagai bidang kehidupan.Di Inggris misalnya, sebagai gudangnya ilmuwan & penemu legendaris, layang-layang digunakan tak jauh dari bidang ilmu pengetahuan, untuk mengetahui kondisi cuaca dan percobaan tentang listrik yang berasal dari petir. Di Asia, terutama di Nusantara, layang-layang kebanyakan digunakan sebagai salah satu sarana pelengkap peribadatan. Salah satunya yaitu di Bali, masyarakat setempat menggunakan layang-layang sebagai pelindung singgasana para dewa. Dewa layang-layang di Bali disebut dengan Rare Angon.
Secara umum, di Indonesia sendiri layang-layang dikenal sebagai permainan tradisional. Anak-anak yang umumnya memainkan layang-layang akan berlomba satu sama lain. Yang menjadi pemenangnya biasanya adalah siapa yang layang-layangnya paling lama bertahan di udara dengan cara bertarung untuk saling memutuskan benang layang-layang lawannya. Disinilah letak keahlian seorang “supir” mengendalikan layang-layangnya menjadi penentu juaranya. Memasuki tahun 1990an mulai terjadi pergeseran seni bermain layang-layang yang semula hanya sekedar untuk berlomba saling menjatuhkan layang-layang lawan, berubah menjadi lomba kreativitas menciptakan kreasi seni jenis, bentuk dan corak layang-layang. Hal ini tidak bisa dilepaskan dengan masa keemasan layang-layang di negeri Cina yang terjadi beberapa ratus tahun sebelumnya.
Di beberapa negara bahakan sudah terlebih dahulu dan sering mengadakan festival layang-layang skala internasional. Di Jepang misalnya setiap tanggal 5 Mei selalu diadakan festival tahunan layang-layang internasional serempak di beberapa kota. Karena diadakan tanggal 5 Mei, festival ini diberi nama Festival 5 Mei. Di Tanah Air, festival layang-layang skala internasional masih sangat jarang diselenggarakan. Namun untuk yang bersifat nasional beberapa festival dan lomba sudah cukup sering diadakan. Salah satunya yang diselenggarakan di pantai Parangkusumo, Bantul, Yogyakarta, 9 Oktober 2011 yang lalu. Festival selama 2 hari yang diikuti sejumlah komunitas layang-layang yang umumnya dari pulau Jawa dan Bali ini bertarung melalui unjuk kreativitas membuat layang-layang seindah dan seheboh mungkin. Bukan hanya keahlian “supir” mengendalikan layang-layang menghadapi angin pantai yang kencang, namun yang lebih penting adalah bagaimana merebut simpati dewan juri dan penonton dengan menghasilkan layang-layang yang unik, keren dan cantik. Umumnya layang-layang yang dibuat bercorak tokoh kartun atau tokoh dalam cerita rakyat. Ada juga yang membuat dalam bentuk tiga dimensi berupa hewan, tokoh superhero atau bentuk kendaraan. Dan yang paling menyita perhatian adalah layang-layang bentuk naga yang panjangnya bisa mencapai 100 meter. Susah rasanya membayangkan ketekunan dan rasa seni yang begitu tinggi saat menciptakan layang-layang ini. Belum lagi betapa sulitnya untuk “membuka” dan menerbangkan layang-layang ini.
Festival layang-layang semacam ini bisa menjadi suatu alternatif hiburan dan unjuk kreativitas yang layak diberi nilai tersendiri, bahkan patut diberikan apresiasi khusus oleh pemerintah Indonesia guna meningkatkan sektor pariwisata dalam negeri, seperti layaknya negeri Jepang yang sukses dengan Festival 5 Mei nya guna menarik wisatawan internasional. Dengan beragamnya tradisi dan budaya Nusantara yang umumnya menjadi sumber inspirasi kreasi jenis dan bentuk layang-layang, rasanya tak salah jika festival layang-layang dijadikan salah satu ujung tombak wisata Indonesia. Semoga.

Belum ada komentar