Masalah Tiket Thomas & Uber Cup '08 hari I

Oleh: Nugroho Budianggoro (1027)    16 tahun yang lalu

  0 

Minggu siang ini menjanjikan hari yang seru: menonton langsung aksi para atlet badminton kita bertanding di Senayan. Namun, seperti banyak janji lainnya yang diucapkan di negeri ini, janji itu harus ternodai.

Saya datang sekitar jam 13.00, waktu pertandingan tim Uber kita dimulai melawan Jepang. Kata Mas Polisi, tiket bisa dibeli di loket di luar gedung, karena itu saya jalan ke sana. Sesekali terdengar teriakan kumpulan orang dari depan pagar gedung. Saya tidak mengerti maksudnya, tapi saat itu saya mulai merasa ada yang tak beres.

Kerumunan orang berjubel di depan loket. Sekitar seratusan orang yang mengantri. Semua petugas loket tidak ada, tapi kami tetap menunggu. Saya menunggu sekitar dua puluh menit di antrian itu. Selama dua puluh menit, saya menguping.

Ternyata tiketnya habis. Kenapa? Kabarnya tiket telah diborong pihak kedutaan, padahal kalau dilihat dari tayangan televisi, isi stadion masih kurang dari setengah terisi. Katanya, waktu jam 9 tadi dibuka, hanya ada 10 tiket yang tersedia untuk dijual. Hati serentak panas, saya lalu mengeluarkan kamera.

Rupanya pagar gedung sebelumnya telah ditutup, dan tiba-tiba dibuka. Para pengantri yang menunggu di depan pagar dan loket berhamburan menuju gedung. Sejumlah mereka yang lebih dari seratusan, langsung memadati pintu-pintu masuk di lantai 2.

Saya kurang mengerti apa yang sedang terjadi, demikian juga tampak dengan orang lain. Tidak ada informasi publik yang dipaparkan secara efektif. Yang ada hanya desas-desus dan mengikuti pergerakkan massa.

Beberapa menit kemudian, teriakan-teriakan emosi diperdengarkan, dari calon penonton ataupun dari polisi. Dan pintu A2 dibuka, dan kerumunan antusias itu dibiarkan masuk. Pintu dibuka hanya setengah, dan orang-orang pun berebut masuk, seperti kumpulan ikan mas berdesak-desakan saat diberi makan.

“Tempat ini sudah penuh,” teriakan kudengar, dan tak lama berselang pintu itu ditutup. Orang-orang masih tertinggal di luar. Mereka ini pun kembali menunggu dengan tidak pasti.

Massa masih menumpuk di pintu A6. Pintu-pintu di sana tidak dibuka, sementara akses pintu pagar gedung kembali dibatasi. Massa di lantai dasar menunggui pintu bawah. Sesekali mereka berteriak-teriak dengan setengah bergurau. “Hidup calo,” salah satu celetukannya. Orang-orang yang keluar masuk pintu terbatas itu tak luput dari bahan gurauan. Lembaran uang lima puluh ribuan dilambai-lambaikan, tanda bahwa mereka tidak menuntut tontonan gratis, hanya ketersedian tiket yang memadai.

Pada jam 15.30, mulai terjadi komunikasi dengan panitia, hingga beberapa saat kemudian seorang polisi muncul. Ia memberi tahukan massa untuk kembali ke loket dan membeli tiket pertandingan untuk besok di sana.

Massa pun berhamburan ke loket luar. Sebagian dari mereka curiga, kalau mereka sudah keluar, pintu pagar akan ditutup. Tapi hal itu tidak terjadi. Kerumunan antrian kembali terlihat loket, kali ini bergantung pada janji adanya tiket untuk esok hari. Pada pukul 16.00, antrian ini masih menunggu, dengan tiada satupun petugas loket terlihat.

Padahal, waktu saya sempit dan saya harus bergegas ke tempat lain. Saya pun beranjak keluar dari tempat itu.

Saya berpikir. Piala Thomas dan Uber, salah satu laga paling bergengsi dalam bulutangkis, olah raga dimana Indonesia punya prestasi paling membanggakan di dalamnya. Kompetisi ini dilaksanakan setiap dua tahun di negara yang berbeda-beda. Terakhir kali Indonesia menjadi tuan rumah tahun 2004. Kapan lagi kita seperti ini, saya tidak tahu. Ini kesempatan yang langka bagi rakyat kita bertemu langsung dan membela putra-putri mereka sendiri membawa nama bangsa.

Sayang sekali momen ini harus dinodai dengan masalah tiket. Entah karena pemborong tiket atau calo. Entah karena kurangnya komunikasi efektif dari panitia atau penonton lokal yang terlalu berisik. Yang pasti tidak pantas bagi penonton, pendukung manapun, untuk harus menunggu berjam-jam tanpa informasi yang jelas, atau dibiarkan berdesakkan masuk tanpa bayar, seolah-olah sekumpulan penjarah. Apalagi ini penonton lokal, dan kompetisi kali ini diembel-embeli dengan nama perusahaan lokal.

Sepanjang yang saya lihat, hari yang berawal janji ini berakhir dengan janji untuk esok hari.
Tapi saya tidak lagi menanti.

Belum ada komentar